Mohon tunggu...
Sri Noviyanti
Sri Noviyanti Mohon Tunggu... -

I love to laugh and appreciate good food, good people and good times

Selanjutnya

Tutup

Nature

Belum Siap Beramah-tamah dengan Lingkungan dan Sosial

10 Oktober 2013   14:14 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:43 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13816683461698540989

Eco-friendly gaung namanya di tengah masyarakat. Bukan hanya di Ibukota tapi juga pada daerah-daerah tertinggal. Mereka mulai 'melek' eco (katanya). Beramai-ramailah mereka memenuhi store yang menawarkan bahan pangan organik. Mereka pilih beras organik, lauk-pauk organik, minuman organik. Berbanding lurus dengan hal itu, ramai pula lah resto-resto organik. Tahu harganya? tentu sjaa lebih mahal. Bayangkan saja, untuk mendapatkan sepiring lezat makanan organik, para petani nya membutuhkan lahan yang benar-benar organik, tanah dengan pupuk organik. Bila ada hama, sang petani tak boleh asal semprot pestisida. Si Petani harus mengambil hama-hama itu dengan tangannya sendiri, membersihkan celah-celah lahan dan harus hati-hati. Itulah mengapa lahan organik dikelola oleh banyak petani sedangkan lahan biasa tak memerlukan jasa petani terlalu banyak. Hitung saja kalkulasi biaya yang dibutuhkan. Maka wajar bila makanan organik dihargai jauh lebih mahal. Dari lahan tersebut lahirlah makanan, minuman dan juga kosmetika-kosmetika organik. Dari situ, orang-orang beramai-ramai kena 'tren organik' atas nama penyelamatan lingkungan, atas nama kesehatan, dan tentunya atas nama gengsi. Kenapa gengsi? Karena siapapun yang kena wabah tren tak tertutup kemungkinan juga kena wabah gengsi. Yang (benar-benar) sadar ada, tapi tidak seluruhnya. Lalu bila ada alasan peduli lingkungan, mengapa mereka hanya peduli dengan hal yang harus mengeluarkan kocek melangit. Ya harus yang mengeluarkan kocek, karena kalau tidak bukan tren namanya. Akhirnya hal ini membudaya, tren makan makanan organik mewabah kemana-mana. Orang berbondong-bondong ingin hidup sehat dengan makan makanan organik. Mereka lupa, menyelamatkan lingkungan atas nama sehat bukan hanya soal makanan. Mereka lupa, masih banyak sampah plastik yang akan menjadi pekerjaan rumah di masa depan. Mereka lupa sampah-sampah plastik tak terurai, mereka lupa kelak ini akan menjadi hambatan dalam hidup mereka. Lalu apa yang dilakukan? (Hanya) Makan makanan organik dianggap sebagai solusi kesehatan. Yang lain tidak. Bagi si Kaya membeli makanan tersebut bukan masalah, bagi si Miskin? kelak mereka tetap harus makan makanan non organik (yang murah dan tidak sehat). Kelak mereka akan tetap tidak bisa ikut tren. Si Miskin masih menjadi pengumpul sampah, si Miskin makan makanan berbahaya yang murah. Dalam hal zona organik, kemungkinan si Miskin hanya akan berkesempatan menjadi petani bukan penikmat. Sedang si Kaya, menikmati makanan pokok organik yang sehat, menikmati waktu luang dengan menghabiskannya di warung kopi mahal dengan suguhan kopi-kopi di dalam cup plastik. Sadarkah? Mereka mengkhianati misi 'penyelamatan lingkungan'. Tak hanya soal plastik, pernah menumpuk pakaian bekas? Pakaian itu hilang fungsi karena sudah usang lalu ditaruh sedemikian rupa di tempat yang jauh dari mata. Siapa yang peduli lagi dengan barang-barang yang hilang fungsi. Dalam sudut pandang yang lain mungkin barang-barang tersebut masih dapat dipergunakan (re-use). Dari barang tersebut bisa saja lahir sekelumit aksesoris-aksesoris cantik berbahan ramah lingkungan. Tapi siapa yang peduli? Kalaupun ada yang peduli lalu tertarik, adakah yang menghargai? Setidaknya memberi nilai lebih? Pernah suatu waktu saya bertemu dengan salah satu pelaku lingkungan, ia melakukan hal yang saya sebut tadi. Ia tak ingin barang bekas hilang fungsi juga hilang manfaat. Dijadikanlah aksesoris cantik berbahan tutup botol plastik dan kain-kain dari pakaian bekas. Dikesempatan lain, aksesoris tersebut dipatenkannya dalam satu label dan dijualnya. Lalu apa yang terjadi? Brand lokal dalam mindset orang Indonesia haruslah murah dalam artian sebenarnya. Sulit merayu orang untuk melirik aksesoris dari barang bekas yang sudah mempunyai nilai harga dalam barcode. Setelah tertarik paling tidak mereka akan berani menawar dibilangan harga yang sungguh tak masuk akal. Rp. 5000 dianggap menjadi harga yang pantas dengan alasan "Lah kan aksesorisnya dari barang bekas," begitulah katanya. Si pelaku hanya bisa menelan kecewa. "Miris saat mereka bisa makan makanan organik yang mahal dan menghabiskan waktu di kedai kopi dengan cup plastik yang juga menghargai kopinya dengan harga mahal," ungkapnya masih menahan kecewa. Ya begitulah adanya, mereka yang (katanya) sadar dengan masa depan lingkungan tak selamanya peka dengan lingkungan dan sosialnya sendiri. Ada mindset yang perlu diubah bahwa barang bekas bukanlah sampah yang menjijikan sehingga tak punya nilai. Gambar diambil dari sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun