Mohon tunggu...
Eunike Pakiding
Eunike Pakiding Mohon Tunggu... Administrasi - Kuli Kopi yang Suka Menulis

Ingat, Pena lebih kuat dari Pedang || Calamus gladio fortior

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Di Toraja Ternyata Harus Ada Budaya Lain Selain Budaya Toraja

9 Juni 2017   13:44 Diperbarui: 9 Juni 2017   14:05 2045
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
UPACARA RAMBU TUKA'/Sumber Gambar: Kumpulanliriklagutoraja

Kembali lagi kita melihat bahwa Bumi ini semakin Tua dengan begitu banyak manusia serta aktivitasnya.  Jika Budaya lebih penting, apa Bumi bisa lebih penting lagi? Ini pertanyaan yang mungkin bisa kita jawab pribadi lepas pribadi, kalau bukan kita siapa lagi? Kan singkatnya begitu…

Tidak usah melihat konteks yang lain, kita lihatnya seperti ini saja: lebih mahal mana membeli kantong sampah atau seekor kerbau untuk upacara adat? Kemudian, membeli Bibit tanaman untuk halaman rumah atau memberi 10 ekor Ayam untuk Jamuan Syukuran? Ini contoh Usaha untuk Bumi VS Usaha untuk Manusia. Sekarang, kita mampunya dimana? Atau kita beratnya dimana?

Kembali lagi ke Masyarakat Toraja, Jika kita mampu memenuhi semua kebutuhan Upacara Adat seperti membeli babi, kerbau, ayam dll. Apa membeli kantong sampah masih terasa berat? Atau membayar biaya sampah kepada tukang sampah itu membebankan? Atau kita lebih memilih membuang sampah sembarangan? Ini dilemparkan kepada kita kembali, bagaimana menyeimbangkan semuanya.

Jika kita buang sampah sembarangan, apa akibatnya untuk Alam? Daerah kita bisa banjir kan yang rugi kita sendiri. Untuk toraja sendiri banjir bukan bencana yang di takutkan melihat kondisi alamnya pegunungan tapi bagaimana anda yang di perkotaan? Di Ibukota Jakarta misalnya? Berat mana membeli kantong sampah dan membayar biaya pengangkutan sampah pada tukang sampah atau membeli 10 ekor ayam untuk jadi jamuan syukuran dirumah? Kemudian sampahnya dibuang di Sungai?

Semua ini hanya contoh sebesar mana kepedulian kita kepada Budaya adat dan Istiadat kita dibandingkan kepada Alam yang menunjang budaya itu sendiri untuk bisa terlaksana. Melihat Indonesia sekarang ini, begitu banyak masalah tentang Alam, bencana Alam dimana-mana seperti Banjir, Longsor, gempa bumi, tsunami, kebakaran hutan, Gunung Meletus dll.

Di Toraja sendiri, Bencana Alam juga sering terjadi seperti Longsor melihat bahwa kondisi alamnya didominasi oleh pegunungan. Bulan Oktober 2016 contohnya, saat longsor di perbatasan daerah Tikala Pengairan Jalan Poros Tikala dengan Sereale Lingkungan Parinding, Lembang Sereale, Kecamatan Tikala. Dimana puluhan rumah warga tertimbun tanah longsor dan terbawa arus sungai yang cukup deras. Dua mobil yang melintas turut terjebak di antara material tanah longsor. Sehingga ratusan masyarakat Toraja harus mengungsi Bahkan Longsor susulan pun sempat terjadi.

Longsor di Toraja/Sumber Gambar: Kareba Toraya
Longsor di Toraja/Sumber Gambar: Kareba Toraya
Longsor di Toraja/Sumber Gambar: Kareba Toraya
Longsor di Toraja/Sumber Gambar: Kareba Toraya
Kalau Alam Toraja sudah begini? Mau lari kemana kita? Tidak ada lagi kegiatan perekonomian, anak-anak harus berhenti sekolah, jalur transportasi tertutup, bahkan untuk melaksanakan Pesta Adat pun tidak bisa lagi, kita pasti memikirkan Toraja, Budaya dan Adat Istiadatnya kedepannya seperti apa kan?

Coba anda kembali baca judul artikel saya diatas.

Nah, ternyata selain BUDAYA TORAJA, harusnya ada juga Budaya yang lain di Toraja. Budaya apa itu? “BUDAYA SADAR BENCANA”silahkan tertawa dulu, karena saya menarik anda kesini agar setidaknya dari judul ini ada rasa penasaran. Saya tidak yakin jika anda akan membuka tautannya kalau saya pakai judul yang simple misalnya “budaya sadar bencana di Toraja” sehingga saya berusaha menulis sambil mengecoh anda, setidaknya Tulisan saya bisa bermanfaat untuk masyarakat Toraja.

Membangun budaya sadar bencana tidak segampang membalikkan telapak tangan. Harus dilakukan dengan cara-cara yang kreatif dan harus terus-terus diulang kalau tidak hanya akan masuk ditelinga kanan keluar ditelinga kiri. Sama halnya dengan yang di lakukan BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana)  selain meberikan sosialisasi kepada masyarakat untuk meningkatkan budaya sadar bencana, Juga berusaha mencari cara agar Budaya Sadar Bencana Ini bisa tersampaikan hingga ke Pelosok-pelosok. Bekerja sama dengan 80 stasiun radio, 60 stasiun radio swasta dan 20 radio komunitas yang tersebar di 20 provinsi, BNPB merilis kembali sandiwara radio“Asmara di Tengah Bencana 2” sebagai bentuk edukasi dan sosialisai kepada masyarakat.

Mendengar Sandiwara Radio Era Tahun 20an/Sumber Gambar: Wikipedia.org
Mendengar Sandiwara Radio Era Tahun 20an/Sumber Gambar: Wikipedia.org
Sandiwara Radio adalah sebuah pertunjukan drama yang murni mengandalakan tampilan suara dan akustik yang disiarkan di radio atau media suara lainnya seperti kaset dan CD. Jadi kita hanya mendengar lewat suara di radio. Ini semacam film tapi hanya suara saja dan diputar di radio. Yang secara tidak langsung menyampaikan tentang ”budaya sadar bencana”melalui Radio.Sandiwara Radio mendapatkan popularitas selama dekade penyebarannya pada tahun 1920an-hingga kemunculan Televisi. Jadi saat sudah ada TV sudah mulai tidak diminati Masyarakat. Contoh Sandiwara Radio Tutur Tinular, Sandiwara Radio Misteri Gunung Berapi dll. Bagaimana jika kita kembali bernostalgia lewat SANDIWARA RADIO sambil belajar “Membangun Budaya Sadar Bencana Melalui Radio” sama seperti era 20an yang aman-aman dari bencana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun