Mohon tunggu...
Eulalia Adventi
Eulalia Adventi Mohon Tunggu... -

Saya dari Purwokerto, tapi berhubung kata "Purwokerto" belum ada dalam daftar kota, maka saya tulis asal kota dari Tegal, yang paling dekat dengan Purwokerto

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Siapkan Tunjangan Hari Raya

13 Juli 2011   09:46 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:42 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="alignnone" width="250" caption="foto dari alifmagz.com"][/caption]

Bagi karyawan yang bekerja di perusahaan, tunjangan hari raya adalah hak yang otomatis akan diterima menjelang tibanya hari raya Idul Fitri. Gaji menjadi berlipat, seiring meningkatnya kebutuhan untuk perayaan hari lebaran. Biaya pulang kampung, beli baju baru, siapkan aneka hidangan istimewa, hingga uang yang harus disisihkan untuk zakat fitrah. Bagi majikan atau pengusaha, membayar THR pada karyawan, pembantu, atau baby sister menjadi sebuah kewajiban.

Bagaimana dengan pedagang kecil yang mengandalkan pemasukan harian? Apalagi pedagang makanan yang biasanya berjualan pada siang hari namun harus libur, tidak berdagang selama bulan puasa, bagaimana mereka menyiapkan THR untuk menyambut hari raya ? Berikut cerita dari seorang pedagang rujak yang telaten menyiapkan THR sendiri.

Setiap tahun, Ngatini, nama pedagang rujak itu, tak pernah berjualan sejak dimulainya bulan puasa hingga seminggu setelah lebaran. Suaminya tukang becak. Jadi, penghasilan utama keluarga itu lebih banyak mengandalkan pendapatan dari berjualan rujak. Jika sebulan lebih tak berjualan, bagaimana mereka mencukupi kebutuhan selama sebulan? Dan bagaimana mereka bisa menikmati sedikit kemewahan untuk mengisi kemeriahan lebaran ?

Jawabannya adalah menabung. Selama setahun, bisa dihitung waktu yang efektif untuk berjualan adalah 10 bulan. Setiap hari Ngatini menyisihkan uang sebesar Rp. 10.000. Jika dihitung secara sederhana, tiap bulan berhasil terkumpul Rp. 300.000. Dalam waktu 10 bulan uang yang terkumpul Rp. 3 juta. Uang sebesar itu cukup untuk memenuhi kebutuhan selama sebulan dan berbagai keperluan untuk hari raya.

Dimana uang itu ditabung ? Ia menjawab di pasar. Ia bercerita bahwa cara itu diperolehnya dari para pedagang pasar. Di pasar tempatnya biasa berbelanja, ada beberapa kelompok yang memiliki berbagai kegiatan, salah satunya adalah mengumpulkan dana sebagai tabungan bersama. “Kula ndherek kalih kelompok, saben setor Lima ngewu. Nek seniki malah tigang kelompok, dadi saben dinten setor limolas ewu (Saya ikut dua kelompok, tiap setor Rp. 5.000. Kalau sekarang malah ikut tiga kelompok, jadi tiap hari setor Rp. 15.000),” kata Ngatini.

Jika tiap hari setor Rp. 15.000, maka dalam tempo 10 bulan diperoleh uang sebesar Rp. 4,5 juta. Uang tersebut tak seluruhnya dibelanjakan. Ia harus menyisihkan uang untuk modal berjualan setelah lebaran. “Nek modal kula mboten nyimpen arto, tapi barang. Tek tumbasaken emas, mangke pas butuh modal ngge sadean rujak malih emase disade. (Untuk modal saya tidak menyimpan dalam bentuk uang. Saya belikan emas, besok kalau butuh modal untuk jualan rujak lagi, emas tersebut dijual),” tutur Ngatini.

Lalu mengapa Ngatini memilih tak berjualan selama bulan puasa ? “Kula sampun gadhah omong mboten badhe sadean nek puasa. Menungsa urip mbok mboten kon nggolet duit mawon. Prei dodol dadi saged resik-resik umah, ndherek pengajian, nglakoni puasane mantep (Saya sudah punya janji tidak akan berjualan selama berjualan. Manusia hidup kan tidak untuk mencari uang saja. Kalau tidak berjualan saya bisa bersih-bersih rumah, ikut pengajian, menjalani puasa terasa mantap),” kata Ngatini tersenyum.

Ngatini bercerita bahwa ia pernah tergoda untuk melanggar janjinya sendiri. Pasalnya, sang suami membujuknya untuk tetap berjualan. Tetangganya yang tetap berjualan rujak selama bulan puasa malah makin ramai. Dan suatu hari si tetangga itu tidak berjualan karena suaminya sakit. Suami Ngatini melihat adanya peluang yang sayang dilewatkan. Ia pun membujuk Ngatini untuk berjualan. Dari pengamatan suaminya, sore hari menjelang buka puasa adalah waktu paling ramai. Banyak orang yang butuh makanan yang siap dimakan untuk berbuka. Kalau ditambah makanan lain seperti kolak, atau es buah, pendapatan yang diperoleh bisa makin besar.

Ngatini tergoda. Ia pun menyiapkan barang dagangan. “Tapi malah mubah, rugi. Nembe bukak malah udan gedhe banget nganti ndalu. Kula awake rasane pegel kabeh, jan tangane be mboten saged diobahna (Tapi malah sia-sia, rugi. Baru buka malah hujan deras sampai malam. Badan saya tiba-tiba jadi pegal, tanganpun sulit digerakkan),” cerita Ngatini.

Sejak itu, Ngatini kapok. Ia sudah berjanji, maka harus menepatinya. Bagi Ngatini, puasa adalah masa untuk menjalani retret agung. Mundur sejenak dari keriuhan dunia untuk lebih mendekatkan diri pada Ilahi. Ngatini ingin berfokus pada peziarahan batin selama bulan Ramadhan. Menyiapkan diri dan hati agar bisa menyambut berkah Idul Fitri dengan hati penuh syukur. Tunjangan hari raya pun disiapkan berbulan-bulan, di luar masa puasa.

Selamat menyambut Ramadhan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun