Harimau mati meninggalkan belang.
Gajah mati meninggalkan gading.
Manusia mati meninggalkan jejak tulisan.
Tanpa jejak, we're nothing. Menghilang seperti tak pernah ada. Dengan menulis, kita menjadi "someone".
Tiba-tiba saya teringat akan sebuah kutipan, "writing is a lonely profession". Barangkali memang begitu, mengingat proses menulis melibatkan dialog dengan diri sendiri, sebelum kita bisa membebaskan tulisan kita untuk berdialog dengan orang lain. Bagaimana produktifnya pun seorang penulis, rasa jenuh, mandeg, dan sejenisnya itu senantiasa ada. Misalnya, sering saya perhatikan, topik "writer's block" sering sekali ditanyakan dan dibahas pada beragam kesempatan talkshow kepenulisan. Setiap penulis tentu memiliki tips masing-masing untuk mengatasinya dan menjaga semangat menulisnya. Namun ada satu hal yang saya pelajari dari pengalaman berkomunitas, bahwa bergaul dan berkumpul dengan orang-orang yang memiliki minat sama memainkan peran besar dalam memelihara semangat menulis. Ada proses transfer semangat dalam komunitas, pun transfer ilmu disana.
Barangkali itu sebabnya dunia komunitas senantiasa menjadi tempat yang menarik bagi saya. Suatu ketika, beberapa tahun ke belakang, saya pernah bekerja dan tinggal di daerah industri di Padalarang. Begitu rindunya saya pada komunitas kepenulisan hingga akhirnya setiap weekend sepulang dari kantor saya langsung menuju titik pertemuan komunitas di Kota Bandung. Sering juga perjalanan itu perlu ditempuh dengan naik-turun angkot melintasi trayek yang panjang. Saya melupakan rasa lelah demi mendapatkan "obat". Itu sekelumit cerita kenangan saya dahulu. Kini, tinggal di Kota Bandung yang notabene "sarangnya" komunitas, termasuk kepenulisan, ternyata tak serta merta membuat saya sangat produktif menulis. Gejala mandeg/malas nulis ternyata tetap saja sesekali ada. Tetapi saya bersyukur dekat dengan komunitas menulis membuat pompaan energi/inspirasi menulis begitu banyak berserak tinggal bagaimana kita menyerapnya.
Jelang Ramadhan di bulan Juni kemarin, komunitas kompasianer Bandung menggagas sebuah pertemuan sillaturrahim sekaligus blogshop yang memfasilitasi kebutuhan penyegaran plus pembaharuan semangat menulis yang begitu berkesan. Tak saja jalan-jalan berkunjung ke Tebing Keraton, pertemuan blogshop yang digelar di Pesantren Babussalam, Ciburial, menghadirkan sosok founder Kompasiana sendiri, Pepih Nugraha. Disini Kang Pepih berbagi seputar kepenulisan kepada sejumlah kompasianer Bandung plus beberapa orang santri. Acara blogshop yang berlangsung kekeluargaan ini difasilitasi oleh Pak Fajr Muchtar selaku tuan rumah. Meski topik yang diangkat berupa tips menulis berita, sebetulnya tips-tips yang dibagikan oleh Kang Pepih ini berlaku pula untuk menulis secara umum.
[caption caption="Kang Pepih Nugraha saat mengisi blogshop KBandung (07/06/2015)"][/caption]
Hal yang menarik dari penyampaian Kang Pepih ialah, meski topiknya berbau jurnalistik, pun latar belakang Kang Pepih sudah malang-melintang di dunia jurnalistik, cara beliau menyampaikan tak hanya sersan (serius tapi santai), melainkan pula filosofis. Malah ada yang berceletuk seperti kajian tasawuf, hehe. Saya tak dapat mendeskripsikannya dalam tulisan ini, cukuplah saya mengakui bahwa mereka yang sudah konsisten bergelut di bidang yang menjadi passionnya memiliki semacam kearifan yang inspiratif dengan caranya sendiri.
Kita mungkin sudah mengenal begitu banyak manfaat menulis, tak hanya bermanfaat melatih memori otak, juga kita bisa mengeluarkan memori, menuangkan rasa, dan sebagainya. Bahkan pemahaman mengenai hal-hal seperti takdir, nasib, dll bisa diperoleh dari tulisan-tulisan filsafati. Ketika kita sudah bertekad untuk menulis, kadang kita masih bingung bagaimana menuliskannya. Untuk itu kita perlu mengenal beberapa pendekatan dalam menulis. Kita bisa memilih salah satu atau lebih pendekatan ketika menuliskan sesuatu. Pendekatan ini perlu ditentukan di awal, berguna untuk mengarahkan tulisan kita.
[caption caption="5 pendekatan dalam menulis berita"]
Pendekatan dalam Menulis Berita
Terdapat 5 Pendekatan dalam menulis (apapun, tak hanya berita):
1. Faktual => hanya fakta-fakta yang diceritakan
(Menulis apa yg kita lihat, kita saksikan, alami, ada bekas-bekas situsnya, wawancarai)
2. Praktikal => Hal-hal praktis yang disampaikan (kelanjutan dari berita faktual).
Sebagai implikasi dari berita faktual, kita menyampaikan apa yang boleh & tidak dilakukan. Menulis dengan pendekatan praktikal memberikan pemahaman, pengetahuan kepada pembaca untuk melakukan atau tidak melakukan suatu hal. Misalnya menuliskan tips praktis yang berhubungan dengan suatu kejadian faktual.
3. Intelektual => memberi pengetahuan dari apa yg kita tahu atau belum kita tahu kepada pembaca. Jika kita belum tahu, kita perlu mencari literatur/berbagai sumber.
4. Emosional => Bagaimana kita menggerakkan emosi pembaca. Pendekatan emosional ini yang paling banyak digunakan, karena lebih mengena, menyentuh dari orang ke orang. Apalagi tulisan cerpen & novel (fiksi).
5. Spiritual => Mengajak orang untuk bangkit, semangat, tidak terpuruk (down). Seperti lilin, yang tak seberapa menerangi, namun jika ditempatkan di gua gelap, manfaatnya begitu terasa. Seperti bintang di langit. Panasnya tidak akan sampai ke bumi, namun cahaya yang disampaikannya dapat menerangi jiwa yang tengah kelabu. Tulisan dengan pendekatan spiritual lahir dari fenomena yang diresapi. Kalau mau menulis tulisan seperti ini, jiwa kita sendiri yang harus diasah. Misalnya dengan ibadah, membaca, dll. Kosongkan dulu hati dari iri dengki, baru diisi oleh kebaikan-kebaikan. Kalau tak dikosongkan dulu, nanti campur aduk. Tulisan seperti ini bicara dari hati ke hati. Religiusitas itu ada di setiap orang, bahkan ateis sekalipun.
Agar lebih kebayang, berikut contoh beberapa judul tulisan berita yang dimuat di kompas.com yang ditulis dari berbagai pendekatan. Topik beritanya sama, mengenai jatuhnya pesawat Air Lines MH17, namun masing-masing isi dan arahan tulisannya berbeda. Meski hanya judul, kita bisa membayangkan isi beritanya, atau silakan sekalian googling langsung :D.
*Contoh pendekatan faktual: "Pesawat Malaysia Airlines #MH17 Jatuh di Ukraina". => Fakta-fakta penting yang diceritakan di dalamnya.
*Contoh pendekatan praktikal: "SBY Instruksikan Maskapai Indonesia Hindari Perbatasan Ukraina dan Rusia". => Hal praktis yang disampaikan terkait fakta jatuhnya MH17.
*Contoh pendekatan intelektual: "Analisis Mengapa Pesawat #MH17 Tertembak Rudal Militer". => Memberi tahu rudal seperti apa, dst).
*Contoh pendekatan emosional: 1). "Pilot #MH17 yang Jatuh di Ukraina Berencana Naik haji Tahun Ini". 2). "Ganti Pesawat, Pebulu Tangkis Belanda Keturunan Indonesia Selamat dari Kecelakaan #MH17".
*Contoh pendekatan spiritual: 1). "Kemenlu Buka Posko untuk Keluarga Korban Malaysia Airline #MH17". 2). "Istri Gus Dur Doakan Korban Malaysia Airlines #MH17".
Dalam menulis berita, kita tentu familiar dengan rumus klasik berikut.
5W1H: Who-What-Where-When-Why-How
So What gitu loh...? Terus apa? Lanjutkanlah ke pendekatan-pendekatan penulisan berita. 5W1H itu sebagai bahan menulis berita (the news that we can use!). Selanjutnya bagaimana bahan itu dituliskan, gunakan pendekatan penulisan berita yang dipilih.
Berita bentuknya Piramida Terbalik (tidak berlaku untuk fiksi). Secara berurutan dari atas ke bawah ditempati oleh lead, body, dan ekor. Sebuah berita dikatakan bernilai jika ada unsur berikut:
- Curiosity (rasa ingin tahu, tidak cuek, peduli, tanggap, tergerak)
- Skeptic (ragu. Betulkah begitu faktanya?)
- Observation (Curiosity + spkeptic = observation). Cek & ricek kebenarannya.
- Change (amati perubahan perilaku & fenomena => tren).
- Compare (amati & bandingkan => melahirkan investigative report).
Istilah nose for news merupakan gabungan dari curiosity, skeptic, comparison, observation, & change. Nilai berita terdiri atas adanya unsur importance (penting), interesting (menarik), dan prominence (misal orangnya terkenal sehingga layak jadi berita).
***
[caption caption="Mbak Wardah Fajri dari tim Kompasiana turut hadir dari Jakarta"]
Keinginan Vs Ketakutan dalam Menulis
Di luar soal teknis dalam menulis, ada satu hal yang menjadi penekanan dalam menulis: kita menulis hal yang bermanfaat untuk orang lain. Adapun persoalan mengenai penerimaan pembaca atau tulisan yang memicu perdebatan emosional, Kang Pepih menegaskan bahwa bahasa adalah kesepakatan. Kata-kata itu tak bermakna, tergantung bagaimana orang menafsirkan. Perlu diperhatikan bahwa yang dimaksud pendekatan emosional dalam menulis itu adalah yang menyentuh hati. Bukan sekadar marah-marah.
Sebagian orang mungkin ragu-ragu untuk menulis karena ada ketakutan akan penerimaan publik atas tulisan kita. Kang Pepih mengingatkan kembali bahwa ketakutan itu tak beralasan karena belum terjadi (jangan kalah sebelum bertanding). Apa yang kita pikirkan & kita rasakan dalam diri adalah bahan tulisan. Yang kita pikirkan adalah opini, rasa adalah puisi. Keinginan & ketakutan dalam menulis sayangnya bersatu dalam diri. Patokannya asalkan tulisan kita bermanfaat untuk orang lain (pembaca). Jangan takut dibully, kalau tulisan kita memang bermanfaat, sudah dapat pahala plus berkurang dosa kalau dibully juga. Kata-kata bisa dipersempit maknanya (tergantung kesepakatan bahasa tadi). Tugas kita justru jangan menghindar, tetapi diskusikan dan sampaikan penjelasan (pengetahuan).
Tips buat yang masih suka bingung menulis
Ada yang masih suka bingung seperti ini kayak saya? :)
Sudah punya niat menulis, namun bingung mau menulis apa? => Ambil pendekatan dalam menulis.
Sesudah di depan komputer: judul dulu atau isi dulu? => Tulis saja dulu. Jangan sampai bengong 30 menit cuma mikirin judul, atau nulis 1 kalimat, bolak-balik baca dari awal, ngecek EYD, dll. Bingung nerusin => tak usah mikirin alinea dulu. Baru ketika dirasa tak ada lagi yang akan dituliskan, barulah tulis ulang (edit tulisan).
Ingat saja, kalau kita bisa ngomong, itu berarti kita bisa menulis.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H