Kasus positif COVID-19 di tanah air melonjak tinggi sejak beberapa pekan terakhir. Satgas Penanganan COVID-19 menyebut mobilitas pemudik pada Idul Fitri yang lalu dan kedatangan tenaga kerja Indonesia dari negara lain turut menjadi faktor.Â
Selain itu, sejumlah varian baru COVID-19 juga membuat kasus meningkat tinggi. Terutama akibat penyebaran varian Delta yang berasal dari India. Kemenkes mengatakan tingkat penularan varian Delta berkali-kali lebih cepat ketimbang virus corona biasa.
Satgas Percepatan Penanganan COVID-19 Kabupaten Tapanuli Utara merilis data terbaru peta sebaran COVID-19 pada website resminya yang menunjukkan bahwa per 6 Juli 2021 jumlah total terkonfirmasi di Kabupaten Tapanuli Utara sejumlah 2.594 orang.Â
Angka ini mungkin terlihat kecil jika dibandingkan daerah lainnya di Sumatera Utara bahkan di Indonesia.Â
Namun perlu dipahami bahwa perbedaan angka tersebut disebabkan oleh wilayah yang luas, jumlah penduduk yang tidak begitu besar (dibanding daerah lain), dan rendahnya tracking yang dilaksanakan.
Kecamatan Sipoholon sebagai salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Tapanuli Utara dan merupakan lokasi KKN mahasiswa pengusul, dari data yang ada terkonfirmasi sebanyak 297 kasus positif COVID-19. Mayoritas mata pencarian masyarakat berasal dari hasil pertanian. Edukasi masyarakat terkait bahaya COVID-19 juga masih tergolong rendah.Â
Menggunakan masker saat beraktivitas ke luar ruangan belum menjadi kebiasaan baru karena faktanya jika tidak karena kondisi yang mewajibkan (misalnya ke instansi pemerintahan dan layanan kesehatan) atau adanya razia masker oleh pihak berwajib, maka masih sulit menjadikan pakai masker sebagai budaya baru.Â
Tidak perlu menanyakan terkait kebiasaan cuci tangan atau menggunakan hand sanitizer, nyatanya masyarakat masih banyak yang belum percaya COVID-19 dan meyakini bahwa penyakit ini hanya ada di pulau Jawa saja. Masyarakat dominan akan percaya jika sudah melihat langsung adanya korban.
Terkonfirmasi kasus positif hingga jatuhnya korban jiwa tidak otomatis membuat masyarakat menjadi waspada dan menaati protokol kesehatan. Masalah yang selanjutnya terjadi adalah munculnya stigma sosial.Â
Stigma sosial yang telah banyak terjadi adalah terhadap ras tertentu, penyintas COVID-19, dan tenaga medis.Â
Stigma pada penyakit COVID-19 dan penyintasnya membuat penanganan pandemic COVID-19 lebih kompleks. Keberadaan stigma ini mengakibatkan munculnya perilaku diskriminatif, seperti pengusiran atau pengucilan di masyarakat kepada penderita COVID-19 ataupun tenaga kesehatan. Tidak jarang ada yang kemudian menyembukan kondisi kesehatannya, sehingga terdapat halangan untuk orang dapat mencari layanan kesehatan ataupun ditangani secara cepat.
Hingga saat ini, masih ada masyarakat yang bergunjing tentang mereka yang sedang melakukan isolasi mandiri. Bukannya memberikan dukungan, mereka (para pasien dan penyintas) malah dijauhi sampai beberapa waktu lamanya setelah masa isolasi mandiri selesai dan mereka dinyatakan negatif. Titel sebagai seorang penyintas COVID-19 menjadi suatu 'aib' di mana jika terbukti positif sebisa mungkin memilih untuk menutupinya saja. Oleh karena itu, mahasiswa memilih untuk membuat intervensi melawan stigma COVID-19.Â
Psikoedukasi merupakan intervensi psikologi paling sederhana yang dapat digunakan untuk membekali masyarakat dengan informasi yang akurat, mengenali sumber informasi terpercaya agar terhindari dari kesalahpahaman, gossip, dan informasi keliru yang dapat menyebabkan stigma dan diskriminasi.Â
Diharapkan dengan adanya psikoedukasi ini dapat menumbuhkan rasa peduli dan semangat gotong royong serta rasa empati agar masyarakat Kelurahan Situmeang Habinsaran dapat sama-sama berjuang menghadapi pandemi COVID-19 ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H