Mohon tunggu...
Eugenia Ika
Eugenia Ika Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Jakarta, Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Pagi di Ranolambot

7 September 2012   14:02 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:48 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tebing-tebing tinggi nan kuat memagari tepi kanan dan kiri sepanjang jalanan sepi yang menanjak. Jalan itu berakhir di Ranolambot, desa yang menyendiri dari para tetangganya.

Pipa-pipa air memanjang di setiap tepi jalan dalam desa. Pipa air terpotong pada di depan ujung jalan kecil yang tersambung dengan jalan utama. Air mengucur dari dalam pipa, dingin. Aliran dari sumber mata air pegunungan itu yang menghidupi warga Desa Ranolambot, Kawangkoan Barat, Sulawesi Utara.

Setiap pagi sejumlah perempuan sudah mulai berjalan mendekati pipa air. Mereka membawa ember pada satu atau dua tangan sekaligus. Para perempuan yang umumnya sudah berkeluarga itu mengantre di depan air yang mengucur sambil bercakap-cakap.

Di dekat pancuran, beberapa anjing mulai bermain. Mereka saling gigit sambil berguling-guling di atas tanah. Seekor anak anjing berwarna cokelat tiba-tiba menggeliat cepat dan berdiri. Ia berusaha menggeram. Tentu, dengan suara kanak-kanaknya. Lucu sekali.

Saya spontan tertawa memperhatikan tingkah mereka. Tepatnya tertawa dengan agak gemetar. Udara pagi di Ranolambot yang membuat saya sampai begitu. Tapi saya senang. Udara seperti itu hampir tidak pernah saya rasakan di Jakarta. Dan satu lagi, saya memang salah satu penyuka udara dingin.

Dinginnya udara pagi di Ranolambot membawa saya ke ruas jalan yang lain. Tempatnya di bagian belakang desa. Mungkin karena letaknya di belakang, jalanan yang saya lalui lebih sepi dari ruas sebelumnya.

Ketika saya lewat, seorang ibu tua sedang menyapu pekarangan. Ia memelihara rumpun bunga di halaman rumahnya. Sepertinya pohon bunga aster. Saya tunduk memberi salam, lalu meneruskan perjalanan singkat pagi itu.

Di depan saya tampak sebuah jembatan kecil dengan sungai berair jernih di bawahnya. Nyaman sekali berdiri di atas jembatan itu. Kita hanya akan melihat tumbuhan bunga dan pohon-pohon tinggi. Lalu awan di atasnya. Pagi itu tidak ada seorang pun yang melintas. Saya dengan bebasnya mendengar suara air dan daun-daun yang tertiup angin.

Jalanan mulai menanjak setelah saya melewati jembatan. Di kanan jalan terdapat deretan kebun penduduk. Saya melihat beberapa sapi sedang bermalas-malasan dalam sebuah kebun. Tidak terlihat ada yang menjaga mereka. Saya bingung. Kenapa sapi ditinggal begitu saja di kebun?

Kebingungan itu baru terjawab ketika tiba kembali di rumah keluarga teman saya. Kata Oom Jon, orang tua teman saya, penduduk setempat memang biasa meninggalkan ternak di kebun. Sama, Oom Jon juga meninggalkan ayam-ayam di kebunnya. Ternak bisa berhari-hari ditinggal di kebun. Mereka bertahan dengan makan semua material alam yang ada di sekitar kebun. Terjawab sudah.

Karena tidak tahu jalur menanjak akan berakhir seperti apa, saya memutuskan turun. Langkah saya terhenti saat sinar matahari menerabas pepohonan yang menaungi jalan. Saya lagi-lagi tersenyum. Pemandangan yang cantik. Dan saya, tidak membawa kamera. Sayang, memang.

Saya menuruni jalan itu sambil sesekali melihat ke belakang. Masih ada sinar matahari yang memoles jalan. Sapi-sapi bertahan di tempat saya terakhir melihat mereka. Saya bersenandung pelan. “..I see trees of green, red roses too. I see them bloom for me and you. And I think to myself, what a wonderful world…”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun