Kemudian, pendapatan tahunan sekitar empat kali lipat dari 379,9 miliar won (sekitar Rp 4,6 triliun) pada tahun 2017 ketika data pertama kali dikumpulkan oleh agensi. Seiring berjalannya waktu, peminat komik digital di Indonesia semakin bertambah. Khrisnawan Adhie (2018), dalam sebuah wawancara yang dilakukan oleh Indotelko, menyatakan bahwa terjadi peningkatan jumlah pembaca komik, yakni lebih dari 13 juta orang di Indonesia membaca komik melalui ponsel.Â
Jumlah ini diprediksi akan meningkat 20% dalam kurun waktu 5 tahun kedepan. Peningkatan ini tidak terjadi pada komik cetak, melainkan terjadi terhadap komik digital. Â Lalu, mengapa industri perkomikan di Indonesia---khususnya komik digital---belum makmur meskipun minat terhadap komik digital tinggi?Â
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi hal tersebut. Pertama, dukungan pemerintah. Dilansir dari KBS News pada Rabu (24/01/2024), pemerintah Korea Selatan berencana untuk meningkatkan skala industri komik online (webcomic) menjadi 4 triliun won dan jumlah ekspornya hingga 250 juta dolar AS, lebih dari dua kali lipat dari skala saat ini, pada tahun 2027 mendatang.Â
Dukungan semacam ini belum terlihat tanda-tandanya dari pemerintah lokal kita saat ini. Kedua, kurangnya rasa cinta terhadap produk lokal. Masyarakat kita cenderung lebih gemar mengonsumsi konten komik luar karena stigma yang beranggapan bahwa produk luar negeri yang sudah pasti lebih baik daripada produk dalam negeri.
 Padahal, karya anak bangsa juga layak mendapatkan kesempatan dan apresiasi yang sama besarnya dengan karya dari luar negeri. Perlu kita sadari bahwa karya anak bangsa tidak kalah hebat dengan karya impor. Ketiga, platform komik online yang cenderung kapitalis dan menganggap bahwa penerbitan komik lokal tidak akan membawa keuntungan sebesar komik impor.Â
Hal ini menyebabkan platform komik online enggan menerbitkan judul-judul lokal dan memilih untuk menerbitkan komik karya komikus luar. Padahal, banyak karya karangan komikus lokal yang tidak kalah hebat dan bahkan mampu bersaing secara langsung dengan komikus luar. Faktor-faktor tersebut secara bersamaan menyebabkan kesejahteraan profesi komikus di Indonesia menjadi kurang memadai. Beban kerja seorang komikus tidak sepadan dengan imbalan yang diperolehnya.Â
Komikus selalu dituntut untuk menayangkan episode terbaru setiap minggu, sedangkan komikus tidak memiliki kondisi finansial yang memadai untuk mempekerjakan asisten sehingga komikus terpaksa memikul beban tersebut secara mandiri. Akibatnya, kebanyakan komikus kerap mengalami masalah kesehatan, baik secara fisik, maupun mental.
 Salah satu contoh masalah kesehatan yang kerap dialami komikus adalah carpal tunnel syndrome, yakni kondisi medis yang disebabkan oleh kompresi saraf median di terowongan karpal karena proses degenerasi atau penggunaan tangan yang berlebihan (Sadu and Kusumawati, 2021).
Oleh karena itu, industri komik lokal membutuhkan dukungan yang lebih konkret dari berbagai pihak dimana mulai dari pemerintah, penerbit, hingga masyarakat luas. Komikus lokal tidak hanya membutuhkan ruang untuk berkarya, tetapi juga sistem yang adil agar jerih payah mereka dihargai dengan layak.Â
Dengan menciptakan ekosistem yang sehat, mulai dari edukasi pembaca hingga kebijakan pendanaan dan distribusi yang lebih transparan, industri komik lokal dapat berkembang dan menghasilkan karya yang tidak kalah dengan produk internasional. Saatnya kita memperkuat fondasi industri ini, bukan hanya demi kelangsungan hidup para kreator, tetapi juga untuk menjaga keberagaman budaya yang tersimpan dalam setiap goresan pada karya mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H