Desember tahun lalu, kehidupan masih tenang. Corona masih jauh di Wuhan sana. Awal Maret 2020, saat pengumuman pasien 01, komentar saya, yah akhirnya masuk Indonesia. Selanjutnya saat pasien Covid-19 di kota Solo ditemukan, saya mulai was-was. Makin dekat aja virus Corona ini. Akhirnya, ketika tetangga se rt dinyatakan sebagai ODP, semua langsung ambyar.
Kok bisa?
Iya, yang bikin ambyar Itu hoaks yang tak jelas darimana asalnya. Hoaks yang nyata-nyata telah meresahkan warga, menguji kesabaran dan menimbulkan saling curiga.
Ketika secara resmi diumumkan bahwa ada warga di tempat tinggalku sebagai ODP, maka berita yang seharusnya berisi fakta, nyatanya sebaliknya. Narasinya mengarang indah.
Contohnya saja, tetangga saya positif Covid-19 dan sudah dijemput ambulan dengan petugas medis memakai APD. Warga dihimbau tidak mendekati RT ku karena zona merah. Pun dilarang belanja di warung tetanggaku.
Faktanya, beliau isolasi mandiri di rumah, setelah rapid test dengan hasil positif. Tak ada dijemput ambulans dengan petugas medis lengkap APD.
Tahu nggak, kami yang warga se RT bahkan saat itu belum tahu hasil rapid test namun orang luar sudah tahu lebih dulu plus bumbu penyedapnya.
Reaksinya, saya dan tetangga se RT jelas kaget dong. Tiba-tiba japrian muncul menanyakan kebenaran berita yang beredar. Merasa tak tahu apa-apa akhirnya saya tanya ke Pak RT. Jawaban Pak RT seperti fakta yang saya tulis di atas.
Seharusnya setelah mendapat info Pak RT, semua jadi jelas dong. Untuk beberapa hari iya. Namun kemudian geger lagi. Awalnya karena ada seseorang yang warga RT sebelah yang mengatakan jika tetanggaku positif Covid-19, hasil tes swab sudah keluar.
Asli, itu Pak RT sampai harus keliling ke rumah kasih tahu berita ini. Saking paniknya, berita tersebut belum sempat dikonfirmasi ke RW, Lurah dan Camat.
Berita tambah simpang siur, saya dan tetangga lain bertanya-tanya, sebenarnya sudah di tes swab atau belum. Kedua kalau sudah tes swab mengapa dari pihak kecamatan dan desa tidak menyampaikan informasi ini. Mereka hanya menyampaikan hasil rapid tes saja. Warga merasa ada yang disembuyikan dari pihak pemerintah desa dan kecamatan. Pening kepala.
Dampak dari hoaks ini, RT lain kemudian menutup portal masuk ke lingkungan mereka. Bahkan RT sebelah harus menutup jalan dengan bambu agar warga RT ku tidak lewat lingkungan mereka.
Kemudian muncul usulan dari RT lain agar akses ke dan dari RT tempat tinggalku ditutup saja. Paham sih, akan ketakutan mereka tapi kok jadi egois jatuhnya.
Iya, karena mereka ingin menutup akses, karena takut tertular virus Corona namun masih banyak warga yang keluar rumah tak memakai masker.
Gesekan-gesekan yang terjadi, sungguh menguji kesabaran saat puasa. Tatapan curiga kala bertemu orang lain, membuat diri jadi sensitif. Rasanya kesal, kawatir, bahkan bingung mana berita yang benar dan hoaks.
Disaat seperti ini, harus dibuat gemas karena pihak desa maupun kecamatan tak segera ambil tindakan untuk tes swab. Padahal hasil rapid tesnya positif.
Warga RT ku penginnya segeralah dites swab, biar segera ketahuan hasilnya sehingga bisa diambil tindakan yang tepat. Bukan warga dibiarkan larut dalam kesimpangsiuran berita dan ketidakpastian atas status tetanggu itu.
Puasa merupakan momentum pengendalian diri dari hawa nafsu diantara, nafsu ngomongin orang, buruk sangka, bahkan fitnah.
Tapi sungguh, praktiknya tak mudah. Rasanya pengin curiga, dengan maksud warga RT sebelah yang menyebar hoaks. Sulit mwnghindarkan diri untuk tidak ghibah saat situasi seperti itu.
Ah, serius deh, Corona beserta hoaksnya, membuat Ramadan tahun ini berat banget.
Semoga kita semua senantiasa sehat ya. Plis, jangan sebarin hoaks karena dampaknya merugikan orang lain.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI