Ramadan setahun lalu, saya sempat dibuat pusing oleh kenaikan harga telur ayam yang gila-gilaan. Sebelum memasuki bulan puasa harga telur ayam sekitar Rp18.000, 00-Rp19.000,00. Begitu Ramadan tiba harga telur ayam merangkak naik mencapai Rp26.000,00.
Saya memang tidak membeli telur ayam untuk konsumsi pribadi, melainkan untuk produksi roti rumahan yang saya kelola. Tahu sendirilah, kenaikan harga bahan baku tentu berdampak harga jual. Bak buah simalakama, harga jual yang naik kerap tak membuat konsumen senang. Apalagi barang yang saya jual bukan kebutuhan pokok. Jika tak membeli roti tidak masalah karena mereka toh terbiasa makan nasi.
Di sisi lain, jika harga jual tak naik maka saya sebagai produsen bakal buntung. Akhirnya, pilihan yang diambil adalah mengurangi ukuran roti. Tujuannya satu, supaya konsumen saya tidak lari.Â
Itu kondisi setahun lalu.
Apa Kabar Harga Telur Ayam Ramadan Ini?
Dua bulan sebelum Ramadan harga telur ayam fluktuatif. Berkisar di angka Rp17.000,00- Rp24.000,00. Hari ini, saya belanja telur ayam, tahu nggak harganya berapa?
Harga sekilo telur hari ini Rp20.000,00 teman-teman. Jika dicermati, harga tersebut turun Rp4.000,00. Bahkan harga telur ayam saat ini cenderung stabil. Kondisi ini berbeda dengan Ramadan tahun lalu.
Harga telur ayam yang cenderung stabil ditengarai karena stok telur ayam surplus. Hal tersebut disampaikan oleh Menteri Pertanian RI Syahrul Yasin Limpo. Ditambah situasi dimasa pandemi telah membuat daya beli masyarakat menurun. Banyak karyawan di rumahkan tanpa digaji, pekerja harian yang kehilangan sumber pendapatan, tentu mempengaruhi pola konsumsi. Memilih berhemat dan membeli bahan pangan yang harganya bisa dijangkau. Stok akhirnya menumpuk, harga telur ayam pun tak mengalami kenaikan.
Harga Telur Ayam Tak Naik, Senangkah?
Senang dong, harga telur ayam turun Rp4.000,00? Harusnya sih demikian. Nyatanya, omzet menurun. Harga bahan baku roti memang tak naik. Hanya harga gula pasir yang sempat naik hingga Rp. 17.000,00 tapi hari ini harganya turun ke angka Rp15.000,00.
Namun kondisi ini tak serta merta membuat saya senang.Â
Pasalnya kondisi ekonomi ditengah pandemi memang lesu. Larangan mengadakan kegiatan mengumpulkan massa menjadi penyumbang menurunnya omzet.
Dulu, sebelum pandemi, saya rutin menyuplai kebutuhan snack sekolah terpadu yang jumlah siswanya mencapai 900 orang. Setelah kegiatan sekolah dialihkan menjadi belajar di rumah, praktis saya kehilangan sumber pendapatan.
Biasanya untuk acara tahlilan atau undangan pernikahan, sebagian masyarakat di sini tak hanya memberikan selembar undangan namun disertai dengan sekotak roti. Saat kedua aktivitas inipun dilarang, maka  berkurang lagi omzet saya.
Memang, masih ada yang pesan roti krumpul, untuk dibagikan dalam rangka tahlilan, hanya saja tidak ada doa bersama, bingkisan dibagi dari rumah ke rumah. Namun, jumlahnya tak sebanyak dulu.
Di luar pesanan partai besar, alhamdulilah jualan eceran masih berjalan. Meskipun sedikit terpengaruh. Hal ini disinyalir karena daya beli masyarakat menurun. Mereka yang kehilangan pekerjaan maupun menurun pendapatannya tentu lebih memprioritaskan kebutuhan pokok ketimbang membeli jajan.
Di wilayah tempat tinggal saya, Â pandemi telah menyebabkan beberapa jalanan ditutup. Masyarakat pun mengurangi aktivitas di luar rumah. Fakta ini memang mempengaruhi pola konsumsi. Berjualan via online pun tidak leluasa karena portal di jalanan komplek banyak yang ditutup. Kasihan babang ojolnya cari jalan masuk.
Pandemi Covid-19 memang menguji kesabaran dan ketangguhan saya sebagai pebisnis rumahan. Saya pun putar otak supaya usaha ini tetap survive. Diversifikasi produk kemudian saya pilih. Memang tidak berubah menjadi usaha palugada (apa yang loe mau ada). Produk baru tersebut masih berupa makanan.
Saat puasa, kebutuhan akan takjil maupun masakan masih ada pasar meskipun tak seramai tahun lalu. Saya mulai menyasar mereka yang pendapatannya tak terpengaruh oleh kondisi pandemi ini. Alhamdulillah, responnya baik. Hal ini membuat saya bersemangat kembali.
Jika selama ini hanya mengandalkan jasa abang ojol untuk mengantarkan pesanan, pilihan COD pun akhirnya saya pilih. Selain itu, promo juga dilakukan agar konsumen tertarik membeli produk saya.
Akhirnya, harga telur ayam yang tak naik gila-gilaan seperti tahun tentu patut disyukuri. Setidaknya ketika daya beli menurun, harga sumber protein ini tak bikin pusing tujuh keliling.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H