Perjalanan hari kemarin cukup lancar, bus yang saya tumpangi juga tidak terlalu sesak. Pukul 8 lewat 40 menit saya sudah sampai di tempat tujuan, lebih cepat dari waktu yang dijanjikan. Hari ini saya memang ingin bertemu dengan seorang perempuan pejuang tangguh. Tempat yang dijadikan untuk bertemu masih terlihat sepi, hanya ada beberapa sepeda terparkir di sana. Saya mengira tadinya tempat untuk bertemu itu adalah sebuah rumah makan mewah atau café berhawa sejuk. Tapi dugaan saya meleset, untuk mencapai tempat tersebut saja cukup sulit dan jauh. Beruntung saya bertemu seorang petugas keamanan yang mau mengantar sampai ke tempat tujuan. Jika berjalan kaki mungkin bisa ditempuh sekitar 30 menit, tapi bisa lebih kalau saya yang melakukannya.
Bertempat di sebuah halaman teras Masjid, di situlah mereka berkumpul dan melakukan berbagai kegiatan. Satu per satu mereka berdatangan, sambil melempar senyum kecil pada saya. Karena belum kenal, sayapun enggan untuk bertanya, sampai pada akhirnya seorang perempuan cantik, berkulit bersih turun dari becak. Dari kejauhan perempuan berhijab ini melempar senyum pada saya setelah dekat dia mengulurkan tangan. “Bu Ety ya…,”sapanya ramah. Saya mengangguk. ”Mbak Hafiza ?”tanyaku balik. Kedatangan Hafiza disambut antusias oleh ibu-ibu yang hadir.
dok. pri
Akhirnya kamipun bertemu, Hafiza—sapaan akrab perempuan yang lahir pada tanggal 22 September 1990 memperkenalkan saya kepada ibu-ibu lain. Merekapun datang menghampiri saya sambil mengulurkan tangan bersalaman. Setelah semuanya bersalaman, kami duduk di teras Masjib berlantai keramik putih tanpa alas apalagi karpet. Terbersit dalam hati, ada sesuatu yang aneh pada diri mereka saat bersalaman dengan saya tadi. Setelah saya perhatikan kembali ternyata jari jemari mereka sudah tidak utuh lagi. Ada apa dengan mereka ? Mengapa jari jemari mereka tidak utuh, bahkan ada juga yang memakai kaki palsu ? Beberapa pertanyaan mulai berseliweran di dalam benak saya, sampai akhirnya Hafiza membuka pertemuan itu dengan do’a bersama.
Sekilas Tentang Penyakit Kusta
Seingat saya, orang yang jari jemarinya tidak utuh karena terlepas atau bahkan sampai kakinya harus diamputasi, tidak lain mereka adalah penderita Kusta. Penyakit yang diakibatkan oleh sejenis bakteri bernama Mycrobacterium Leprae ini menyerang kulit, saraf tepi dan jaringan lain kecuali otak. Penyakit yang sering dianggap sebagai penyakit kutukan ini menimbulkan masalah sangat kompleks. Masalah yang timbul kemudian bukan hanya dari segi medis saja, tetapi meluas sampai pada masalah sosial, ekonomi, budaya hingga keamanan.
Bahkan masih banyak stigma negative yang muncul pada masyarakat, bahwa mereka takut tertular apabila bersentuhan dengan penderita kusta. Sebenarnya stigma negative itu tidak seluruhnya benar, penyakit kusta memang penyakit menular tapi penularannya tidak mudah.Amat sangat disayangkan bahwa Indonesia berada diurutan ke tiga Negara yang terpapar kusta, setelah India dan Brazil. Penyebab utama dari penyakit ini karena populasi kustanya masih ada. Selagi populasi kusta masih ada, maka akan berpotensi menularkan pada yang lainnya. Sampai sejauh ini sebenarnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan, karena pengobatannya semakin canggih. Yang terpenting jaga kondisi tubuh agar tetap sehat dan makan makanan bergizi, maka tidak perlu takut bergaul dengan penderita kusta.
Kembali pada permasalahan seperti tersebut di atas, akhirnya timbul sikap diskriminasi atau pengucilan terhadap penderita kusta. Hal ini terbukti dengan adanya Kampung Kusta Sitanala yang berlokasi di wilayah Tangerang. Menempati tanah kosong di belakang RS Kusta Sitanala, mereka membentuk kelompok sendiri. Keberadaan kampung kusta ini bukan tanpa sebab, penderita kusta yang sudah dinyatakan sembuh tidak mau kembali pada keluarganya. Penyebabnya yaitu keluarganya takut akan tertular padahal mereka sudah sembuh.
Begitupula dengan masyarakat lainnya, kebanyakan masyarakat tidak mau bergaul atau berinteraksi dengan mantan penderita hanya karena takut tertular. Oleh sebab itu daripada mereka nantinya diusir, maka mereka lebih memilih pergi dan berkumpul dengan mantan penderita lainnya. Ya, sepintas saya juga melihat bahwa masyarakat lebih takut menerima mantan penderita kusta daripada mantan napi. Sungguh sebuah fenomena yang membuat ironis setiap manusia.
Perjuangan Tanpa Lelah
Masalah yang sangat kompleks tersebut bukan tidak bisa diatasi, hanya saja dibutuhkan ekstra pemikiran untuk memecahkannya. Adalah lima orang mahasiswa berprestasi Universitas Indonesia, berusaha untuk merangkul mantan penderita kusta tersebut. Hafiza Elvira Nofitariani bersama empat teman lainnya mencoba meyakinkan para mantan penderita agar mau diajak untuk bangkit. Sebagai langkah awal Hafiza mengajak mantan penderita kusta yang kemudian dikenal dengan sebutan OYPMK ( Orang Yang Pernah Menderita Kusta ) mengadakan pelatihan rutin tiap minggu. Pelatihan yang diadakan berupa membuat jilbab bermanik beserta aksesoriesnya. Sebuah awal yang cukup berat, karena OYPMK sudah lama mengalami pengucilan ditambah lagi beban hidup.
Para mahasiswa itu berbaur langsung dengan OYPMK, karena memang begitulah seharusnya. Dengan begitu OYPMK tidak merasa dikucilkan bahkan merasa diakui keberadaannya. Hafiza melihat usia OYPMK ini masih tergolong usia produktif dan sangat membutuhkan pekerjaan untuk menyambung hidup sehari-hari. Selama ini OYPMK hanya bisa melakukan pekerjaan tidak layak, seperti penarik becak, pemulung sampah atau tidak sedikit yang menjadi pengemis.
Dipandang dari sudut kacamata manusia, rasanya apa yang diterima oleh OYPMK sangat tidak pantas bahkan jauh dari kepantasan. Mereka juga manusia yang memiliki hak hidup lebih layak dan lebih baik. Jauh dari sekedar pantas, mereka juga punya hak, harga diri dan derajat yang sama di mata Allah. Saya benar-benar takjub dengan pandangan Hafiza dan teman-temannya ini. Bangga dan haru menyeruak dalam sanubari saya, ternyata saat ini masih ada akademisi yang peduli terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Mereka berani berbuat sementara masyarakat banyak yang mengucilkan OYPMK. Nampaknya secercah harapan mulai muncul di sudut Kampung Kusta Sitanala.
Harapan itu Selalu Ada
Melihat semangat yang dipancarkan oleh OYPMK, Hafiza akhirnya mendirikan Nalacity Foundation pada tahun 2011. Nalacity Foundation merupakan sebuah proyek sosial yang fokus pada program pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan skill/keterampilan. Namun seiring berjalannya waktu, Nalacity Foundation tidak hanya fokus pada pemberdayaan semata. Hampir seluruh masalah yang dihadapi oleh OYPMK ditangani oleh Nalacity.
Seperti yang saya saksikan sendiri kemarin, pada saat pertemuan rutin setiap seminggu sekali, Hafiza dengan penuh kesabaran mendengarkan keluh kesah dari mereka. Dari mulai biaya sekolah, kesehatan bahkan pemakaian kaki palsu. Bisa dibayangkan banyak sekali problem yang dipikul oleh Hafiza dengan Nalacitynya itu. Namun semua itu tidak melunturkan semangat dan kecantikan paras perempuan peraih penghargaan MBM Challenge kategori industri kreatif tahun 2012 lalu.
Saya juga melihat, bahwa tidak ada batas sama sekali antara Hafiza dan ibu-ibu itu. Wajah Hafiza yang sudah berpeluh terus menebarkan senyum dan semangat, sama sekali tidak ada guratan takut tertular. Semua dilakoni dengan penuh rasa tanggung jawab disertai dengan solusi. Bagi Hafiza proyek sosial ini sudah merupakan amanah untuk mengangkat derajat kaum OYPMK. Derajat yang selama ini hilang karena sikap diskriminasi masyarakat.
Hafiza berharap bahwa pelatihan yang telah dilakukannya ini membawa dampak positif bagi OYPMK. Kaum OYPMK ini juga ingin merasakan kembali hidup normal layaknya masyarakat yang lain. Kehidupan yang mereka jalani sudah cukup sulit, ditambah lagi dengan status yang disandangnya sebagai OYPMK. Mereka sudah sangat lama merasakan tidak dihargai atas jerih payahnya dan dianggap sebagai manusia pembawa malapetaka.
Mereka bukan hanya dikucilkan oleh masyarakat tapi juga oleh keluarganya sendiri. Mereka juga tidak bisa bekerja seperti orang normal lainnya, padahal mereka bisa melakukannya. Dan yang membuat mereka semakin terpuruk bahwa hasil olahan tangan mereka jarang ada yang berminat. Jangankan berminat, dilirik saja tidak. “Produknya siapa ? Apa ? Penderita kusta ? Ah…nggak jadi deh.” Kalimat-kalimat semacam itu sudah sering sekali mereka dengar.
Dalam pertemuan kemarin, setelah Hafiza memberikan penyuluhan tentang kesehatan, kegiatan dilanjutkan dengan kuis inetraktif. Kuis tersebut berisi pertanyaan tentang harapan, kemampuan yang dimiliki, hambatan dan kebutuhan para OYPMK. Saya sempat tergugu, melihat mereka menuliskan kuis interaktif dengan jari tidak utuh. Butuh waktu lama untuk mengukir satu huruf, tapi semua itu tetap mereka lakukan. Saya yang masih terus mengikuti kegiatan tersebut melihat betapa mereka juga ingin disejajarkan dengan lainnya. Mereka lupa dengan keterbatasan yang mereka miliki, ada canda, ada tawa.
Ini kali pertama saya menghadiri pertemuan penuh makna setelah lima tahun terakhir. Bukan di resto mewah apalagi berhawa sejuk. Kesejukan itu saya rasakan di dalam dada, mirisnya mereka berada dekat dengan saya. Ya, Kampung Sitanala di Tangerang ini hanya berjarak 30 kilometer dari Jakarta, tempat saya tinggal. Tapi mengapa yang peduli dengan mereka hanya Hafiza ? Jawabnya mudah saja, karena Hafiza memiliki Citra Cantik Indonesia. Sebuah predikat yang lebih dari pantas untuk disandangnya. Wajah cantik Hafiza, didedikasikan untuk kaum OYPMK, padahal lebih pantas bila dia berada di atas panggung dalam ajang Putri Kecantikan. Tapi itu tidak dilakukannya, tumpukan ilmu, tangan terampilnya dan rasa solidaritas semua mencuat bila dia berada di antara kaum OYPMK. Semua yang dilakukannya semata untuk mengangkat derajat kaum OYPMK, yang tersisih, yang terbuang dan nyaris tanpa harapan.
Saya bukan cuma kagum pada Hafiza, tapi juga iri. Aura Citra Cantik Indonesia dimiliki oleh Hafiza seutuhnya; muda, cantik, berprestasi dan jiwa sosialnya semua melebur menjadi satu dalam dirinya. Tidak takut pada opini masyarakat yang telah mendiskriminasikan OYPMK, juga jauh dari patah semangat. Setiap hari Minggu Hafiza hadir merangkul, mengayomi, mendidik, mengajarkan, menebarkan semangat dan memecahkan masalah yang dihadapi oleh OYPMK.
Semoga saja masih ada perempuan lain di Indonesia yang memiliki kepedulian terhadap mantan penderita kusta. Yang mau dan mampu mengangkat derajat mantan penderita kusta dengan pemberdayaan diri. Mereka juga tidak mau terus menerus hidup dari uluran tangan para donatur. Mereka ingin mandiri secara utuh, baik mental maupun ekonomi. Hafiza bukan sekedar perempuan inspirasi tapi juga pejuang yang tangguh. Harapannya perjuangan tanpa lelah Hafiza dan teman-temannya bisa membawa kaum OYPMK terangkat derajatnya.
@etybudiharjo
Untuk menjadi volunteer bisa menghubungi @Nalacity
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H