Berikut ini beberapa perbedaan yang dapat dilihat :
1. Banyak dialek banyumasan yang berakhiran "a" sementara di Solo atau Jogja berakhiran "o"
contohnya:
- Kata Berapa, dalam bahasa banyumasan disebut dengan Pira, sedangkan dalam dialek solo atau Jogja disebut dengan Piro.
- Kata Apa, dalam dialek banyumasan disebut dengan Ngapa, sedangkan dalam dialek solo atau Jogja disebut dengan Ngopo.
2. Intonasi konsonan huruf "g,k,d,b" dalam dialek banyumasan diucapkan keras-semangat (lantang) sedangkan dalam dialek Solo atau Jogja diucapakan lemah-tak bersemangat (lembut)
contohnya :
- Kata "Bapak" dalam dialek banyumasan dibaca jelas Bapak sedangkan kata "Bapak" dalam dialek Solo atau Jogja dibaca seolah olah huruf "K" tidak ada atau "Bapa"
Dari perbedaan itu bahasa Jawa Solo atau Jogja bahasa Jawa baku, memiliki tingkatan atau istilah seperti, bahasa Jawa Krama Alus, Krama Inggil dan Krama Ngoko.
Sedangkan bahasa ngapak tidak ada tingkatannya. Maka dari itu sesuai dengan slogannya "Ora Ngapak Ora Kepenak" sebab disini tidak ada tingkatan khusus dalam penuturannya. Namun meskipun bahasa Ngapak ini cara bertuturnya juga cenderung terkesan blak-blakan tidak mempersoalkan status sosial. Bukan berarti mengabaikan tata krama, tapi mengedepankan prinsip kesetaraan.
Makanya tak heran jika banyak yang menggunakan bahasa ngapak ini sebagai bahan untuk membuat lawakan, atau kritikan bagi pemerintah. Sebab memberikan kesan melucu.