Sore ini, bayangan sosok laki-laki yang pernah singgah dalam hidup saya terlintas. Tentu saja bahasa singgah sangat tepat, karena dia sudah tidak lagi bersama saya kini. Namun, semua itu mengingatkan saya akan bagaimana kami menjalani hubungan kala itu. Toxic relationship mungkin itu istilah anak zaman sekarang.
Saya jadi teringat bagaimana kebohongan dan perselingkuhan begitu mengakar dalam hubungan itu. Kala itu, saya menyalahkan dia sepenuhnya. Setalah tahun ini saya mempelajari sebuah teori kelembagaan yang disebut Principal Agent Theory  (PAT) membuat saya membuka hal itu untuk dapat dilihat secara lebih ilmiah.
Principal agent theory menjelaskan tentang principal sebagai pemegang kekuasaan menyerahkan sebagian wewenang nya kepada agent. Menurut saya ketika saya menyerahkan sebagian kewenangan berupa perasaan, kasih sayang, dan cinta saya kala itu saya bertindak sebagai principal, dan ketika saya menerima hal yang sama darinya saya menjadi agent. Begitupun bertindak sebaliknya. Begitulah hubungan kemitraan dalam cinta bisa dipahami.
Sayangnya teori ini juga menjelaskan bahwa hal yang rentan terjadi pada PAT adalah adanya asymmetric information atau informasi yang tidak simetris atau ada kebenaran yang disembunyikan oleh agent sebagai penerima cinta tadi. Pada saat itu, saya itu sebagai agent saya menyembunyikan kondisi bahwa saya orang yang berprinsip atas virginity sehingga untuk berciuman saja saya tidak mau. Sebagai principal saya tidak mengetahui seluruhnya informasi bahwa dia ternyata orang dengan nafsu yang tinggi dan jarang memiliki uang untuk makan bahkan kos pun menumpang.
Sementara kala itu kesepaktan kami adalah berkomitmen dan ingin ke jenjang pernikahan, perjanjiannya kami akan saling berbagi juga dalam finansial dan mencintai. saya tidak masalah dengan split bill kala itu, karena saya tahu kami sama-sama masih mahasiswa. sebenarnya tidak ada kontrak apapun terutama atas dasar pacaran. Tapi saya sudah menceritakannya bahwa saya tidak bisa memberikan dia uang setelah sekitar 1 minggu pacaran.
Hubungan kami hanya sehat pada 3 hari pertama, split bill kami membayar makanan kami masing-masing, karena setelah itu atas dasar kekuasaan ya terhadap cinta saya dia meminta bagiannya. Disinilah moral hazard terjadi, moral hazard sebagai perilaku yang menyalahi kontrak atau kesepakatan awalnya. Saya mulai mencoba memberikan banyak dari uang saya untuknya. setiap bulan saya pasti mentransfer uang untuk sekadar makannya yang tidak bersama saya. Jangan tanya jika bersama saya tentu dia tidak perlu mengeluarkan uang. Belum lagi tambahan saya untuknya membeli motor, helm, atau bahkan rokoknya.
Hal lebih buruk terjadi ketika saya mengetahui dia mulai berselingkuh, tentu saja alasan bahwa saya yang tidak bisa memberikan semua yang dia mau menjadi kuat.Â
Baiklah berdasarkan kisah saya dan dia. Saya menyembunyikan informasi bahwa saya memegang prinsip virginity yang teguh karena keluarga saya masih konvensional sementara dia menyembunyikan informasi atas finansialnya. Alhasil kami salah memilih mitra dalam hubungan ini. Saya tidak seharusnya mendapatkan pria yang bahkan untuk biaya makannya saja bergantung pada saya. Dia pun tidak seharusnya mendapatkan saya yang tidak bisa memberikan kepuasaan seksualnya bahkan hanya sekadar mencium bibirnya. Alhasil terjadilah moral hazard darinya. Sebagai principal dia melakukan asymmetric of power karena memiliki kekuasan atas cinta dan nafsunya yang bisa dibagi pada siapapun. Sementara sebagai agent dia memanfaatkan uang saya....
Jadi sebelum salah memilih mitra atau pasangan hidup pastikan bisa mendapatkan informasi dengan baik. setidaknya untuk hal-hal prinsipal dan coba lakukan obrolan diawal hubungan tentang apa yang disuka dan tidak disuka
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H