Mohon tunggu...
Epi Tresna
Epi Tresna Mohon Tunggu... Lainnya - Calon Pensiunan

Karyawan Swasta, tinggal di Bandung, suku nyeruput kopi dan bacaan berat (tebal)

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Strategi Koalisi Sang Penantang Pilpres, Sebuah Simulasi Surealis dan Hiperbolis

8 Agustus 2018   15:54 Diperbarui: 8 Agustus 2018   17:27 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penulis bukanlah siapa-siapa yang bisa menentukan apapun di dalam dunia politik Indonesia, tapi setidaknya bisa memilih. Selain nanti pada waktunya memilih saat Pilpres dan Pileg, saat ini penulis memilih untuk menulis ilustrasi  surealis dan hiperbolis atas kegalauan yang sedang berlangsung pada hari-hari ini. Seputar Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden (Capres/Cawapres) menjelang pendaftaran tanggal 10 Agustus ini.

Surealis karena ada banyak harapan yang seakan tak nyata dan tak juga rasional akan maju atau tidaknya seorang tokoh untuk menjadi peminpin kita. Menurut penulis, rasionalitas pilihan menjadi sumir karena kehausan akan kekuasaan dan dahaga kepentingan. Hiperbolis? Akan terlihat nanti pada gambaran pilihan arah tulisan yang penulis sampaikan.

Mengikut istilah Sujiwo Tejo dan Siti Badriah, Syapres dan syawapres (baca:Capres/cawapres) yang penulis coba ulas adalah dari sisi non petahana atau sang penantang. Kenapa ? 

Karena seharusnya petahana sudah gak ada masalah, namanya juga petahana... juara bertahan dan masih menjabat. Non Petahana dalam hal ini tergambar, mungkin adalah calon dari partai Gerindra, PAN, Demokrat, PKS dan PBB.  Saat ini capresnya mengerucut pada satu calon, Prabowo Subianto. Sementara itu drama politik yang mengharubiru pilihan wakil presidennya masih alot menggeliat menanti kepastian hasil dialog dalam kemelut antar partai.

Quo Vadis , pilihan sang penantang?

Penulis mengamati dari berbagai media, ada pola yang sama setiap pilpres, pilihan ketokohan  dan profil menjadi nahkoda dalam penentuan pilihan.  So what gitu loh, misi-dan visi ditulis untuk jadi pegangan, setidaknya ada tujuan dalam berpemerintahan bersama atau berkoalisi.  Sedangkan posisi dan jabatan adalah harga mati, dan kontan harus didapat saat kemenangan tiba.  Apakah anggapan ini keliru, ya keliru, tapi pendapat penulis, inilah yang terjadi.

Jadi mau kemana arahnya pilihan koalisi sang penantang ini? Karena sifatnya strategis, tentunya akan menjadi antiklimaks jika pilihan yang terjadi ternyata itu-itu juga. Publik berharap adanya kejutan yang menyegarkan pertimbangan pilihan bagi pemilih. 

Akan tetapi koalisi sang penantang memang masih didera langkah-langkah politik anggota koalisnya.  Penulis berharap sang penantang menjadikan posisi underdog atau kurang diunggulkan menjadi kekuatan yang dapat melumpuhkan. Sedangkan bagi petahana, keunggulan ini dapat menjadi pupuk pertumbuhan menuju kemenangan nyata.

Kemelut dalam koalisi sang penantang mencerminkan keseimbangan kekuasaan dan kepentingan, seakan tak ada yang lebih superior dari yang lain. Ini bisa menjadi keunggulan jika dikelola dalam manajemen konflik yang prima. Energi dari rasa kebersamaan ini seharusnya menjadi dasar untuk keputusan yang lebih cerdik dan lugas, kita tunggu saja....

Simulasi Hiperbolis -- koalisi sang penantang

Penulis berandai-andai, dengan hitungan gabungan partai sang penantang, Gerindra, PAN, Demokrat, PKS dan PBB, tergabung perolehan suara sebesar total 37.84 % lebih dari cukup untuk menggolkan pasangan calonnya. 

Sesuai judul yang penulis ajukan, saatnya kita melakukan analisa secara berlebihan atau hiperbolis.  Prespektif ini penulis pilih sebagai alternatif dari suasana politis yang makin mengerucut pada satu kondisi. Sang penantang seakan mengkondisikan atau terkondisikan untuk maju berhadapan atau head to head dengan petahana.

Apakah ada kemungkinan lain, tentu ada banyak sekali kemungkinan, hanya skenario hiperbolis yang penulis pilih adalah skenario salah satu partai politik pendukung sang petahana menyeberang menuju sang penantang, katakanlah PKB. 

Karena passion dan hasrat untuk menjadi calon wapres cukup menggebu-gebu untuk menjadi cawapres petahana, dan gayung tak bersambut, menyebabkan PKB hengkang kepada sang penantang. Baper, istilah milenalnya.

Tentunya mereka tidak hanya marah dan baper, tetapi sambil berhitung, dengan bertambahnya PKB menjadi sang penantang, porsi sang penantang menjadi 46.88 % suara 2014. Waah. Posisi sang petahana dan penantang menjadi lebih sempit selisihnya.  Selain itu menurut ilustrasi politis hiperbolis penulis, akan timbul ijtihad politik yang akan dapat merubah tatanan politik ke depan, apakah itu?

Ilustrasi dan simulasi hiperbolis dari kondisi ini misalnya menjadi dua bagian. Bagian pertama Gerindra/Demokrat/PBB dengan total suara 23.46 % akan mengajukan calonnya sendiri.  Kedua PAN, PKB dan PKS akan mengajukan calon dengan 23.42% suara yang dimilikinya.

Terus apanya yang aneh?  Nanti dulu, ini baru kejutannya. Gerindra dan Demokrat mencalonkan Capres/Cawapres usulan PKB dan PKS, bisa Cak Imin dengan Aher  atau sebaliknya dan atau yang lain. Sedangkan jatah PKB/PAN/PKS  mencalonkan misalnya Prabowo/AHY.  Ribet, lha...politik memang ribet. Jadinya nanti petahana akan melawan dua set capres/cawapres, rasanya seperti Pilkada DKI yang baru lalu...

Terus bagaimana dengan PBB dan PAN ?  Sebagai anggota koalisi besar, keduanya akan mendapat kursi kabinet yang besar, misalnya setengah kursi kabinet untuk PAN dan seperempat untuk PBB, terlepas tim mana dari koalisi penantang yang dapat memenangkan pertarungan Pilpres 2019.

Wah, ternyata sudah siang....harus ngantor nih.... Selesai sudah skenario mengada-ada saya.  Sebagai bahan tertawaan sendiri dan  hiburan bersama, bye.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun