***
"Teror itu berarti membunuh orang ya, Papi," begitu pernyataan Samuel pagi ini, Jum’at (15/1/2016) ketika di sela mempersiapkan dia untuk ke sekolah saya menyalakan televisi guna mengetahui perkembangan terbaru kasus terorisme kemarin.
Saya terhenyak sejenak. Ternyata, dia sudah tahu sendiri definisi teror yang beberapa hari lalu dia tanyakan. Dia menemukan sendiri setelah ikut menonton tayangan televisi mengenai aksi terorisme yang terjadi kemarin itu.
Mendengar itu, saya langsung terpikir untuk membantu dia mendapatkan penjelasan yang utuh. Saya mencoba menjelaskan pengertian terorisme kepada dia. Bahwa itu bukan perbuatan yang baik. Dan dia setuju dengan itu, bahwa tidak boleh membunuh orang lain. hal yang kami ajarkan dan juga dia dengarkan dari pelajaran Sekolah Minggunya di gereja.
Dalam perjalanan menuju mobil jemputannya pagi ini, saya melanjutkan diskusi. Saya tanya, “Menurut Abang, apakah melakukan teror itu baik?” Dia menjawab, "Tidak." “Menurut abang, bagaimana cara agar seseorang tidak membunuh orang lain?" tanya saya lagi. "Terorisnya dibunuh duluan!" jawabnya singkat dan spontan.
Saya terhenyak berat. Saya tidak menyangka dia sudah memikirkan sejauh itu. Tapi saya berusaha menetralisir dengan memberinya perspektif tambahan. "Tapi bagaimana kalau kita tidak membunuh terorisnya tapi kita usahakan beritahukan dia kalau membunuh orang lain itu salah, tidak baik. Bisa kan kita melakukan itu tanpa membunuh mereka?" tanya saya lagi. "Tapi kita tidak bisa melakukannya. Polisi yang bisa melakukannya," ujar dia berargumentasi. "Tapi kita kan bisa ajari terorisnya untuk tidak berbuat jahat seperti itu, kan. Nanti kita minta polisi melakukannya?" pancing saya lagi. "Teroris mah susah dibilangin, Papi. Dikasih tahu nanti dia begitu lagi. Makanya ditembakin saja," jawab dia tegas. Kali ini saya benar-benar terhenyak sangat.
***
Percakapan pagi ini menyadarkan saya bahwa anak-anak pun terpapar dengan maraknya aksi dan berita terorisme yang oleh para pelaku dibayangkan hanya sebagai 'urusan orang dewasa'. Saya pun, dan Anda semua yang punya anak, harus waspada dan mesti bekerja keras untuk memantau dan memastikan anak-anak kita tidak mengaplikasi apa yang mereka lihat dan dengar dari pemberitaan soal terorisme ini.
Saya juga mesti realistis, bahwa saya dan anak-anak yang akan bertumbuh besar ini hidup di dunia yang tidak mudah. Tidak senyaman dunia bermain dan dongeng yang mereka dengar dan lihat di televisi. Karena itu saya harus mengerti apa yang sedang terjadi dan juga menyiapkan diri memberikan penjelasan yang utuh bagi anak-anak mengenai terorisme itu.
Pada 17 Juli 2009 (5 hari sebelum kelahiran Samuel yang kini bertanya tentang terorisme kepada saya), sekitar satu jam setelah sekelompok teroris melakukan bom bunuh diri kedua kalinya di Hotel JW Marriot di Jakarta saya sudah berada di sana. Saya di sana untuk meliput ketika masih bekerja di koran harian ekonomi nasional Investor Daily. Kecepatan hadir di sana memberi saya kesempatan melihat kondisi awal kehancuran yang ditimbulkan oleh bom laknat itu. Kehancuran dimana-mana. Bagian bawah atau lobi hotel dengan merek asal Amerika Serikat itu benar-benar berantakan, tak berbentuk.
Saya menyaksikan satu per satu korban tewas dibawa keluar, di dalam kantong jenazah. Setiap kali jenazah keluar, semua mata terpana. Banyak yang histeris. Beberapa kali saya benar-benar berdiri kaku karena terpaku dalam ketakpercayaan bahwa saya sedang menyaksikan hal-hal buruk yang tak pernah terpikirkan akan dilakukan oleh manusia yang mengaku melakukannya demi dan atas nama Tuhan. Tuhan yang dalam pemahaman tradisonal saya dan juga hampir semua orang adalah Tuhan yang Mahabaik dan Mahapengasih.