Mendengar kembali lagu-lagu itu, pertama-tama saya dibawa pada kenangan masa kecil. Bagaimana dulu ketika lagu-lagu itu begitu keluar dan laku keras hingga membuat saya yang masih kecil saat itu betah duduk berjam-jam mendengarkannya di pojok ruangan rumah kami di Desa Bawömataluo. Saya duduk di depan tape yang kami beli di Gunungsitoli ketika saya masih kelas 3 SD tersebut dari hasil menjual minyak nilam.
Tapi, suatu pagi beberapa hari lalu, ketika dengan serius mendengarkan mereka melantun dan memperhatikan baik-baik teks di layar televisi, saya kaget mendengar dan membaca kata-kata yang saya kutipkan di awal tulisan ini.
Mereka berbicara mengenai para Ere (imam) dan kebiasaan buruk mereka. Tentu saja di ngenu-ngenu itu, yang dimaksud bukan saja merujuk pada imam dalam konteks agama, tetapi juga merupakan istilah simbolik untuk membicarakan para pemimpin pada umumnya dan perilaku mereka.
Langsung saja saya catat dan bagikan di wall akun Facebook saya. Tak lama, banyak bermunculan tanda jempol di bawah status itu. Juga memberi komentar, mengaitkannya dengan situasi terkini di Pulau Nias. Maklum, sedang masuk musim Pilkada, Pemilihan kepala daerah yang baru.
Sepanjang hari, kata-kata tersebut terus terngiang. Saya berusaha menemukan makna yang hendak disampaikan dalam ngenu-ngenu itu. Dan saya menemukan beberapa, seperti pada ulasan berikut ini. Bila Tuhan izinkan ada kesempatan bertemu dengan pencipta dan penyanyi ngenu-ngenu itu, saya akan menanyakannya langsung dan berterima kasih atas senandung yang hebat itu.
Jabatan Pemimpin Sebagai Kedok
Kalau memperhatikan kata-kata yang dipakai, itu merupakan ungkapan yang berlaku dan relevan secara universal. Tak cuma di Pulau Nias. Di mana saja. Kalau kemudian di setiap daerah ada relevansi konkritnya, ada kesesuaian secara kasuistis, ada sifat pemimpin di satu daerah yang cocok dengan profil di ngenu-ngenu itu, sangat tergantung pada karakteristik kepemimpinan di daerah itu atau kebetulan belaka.
Tapi intinya, pesan utamanya adalah mengingatkan bahwa tidak semua pemimpin itu, entah sudah, sedanga atau baru menawarkan diri sebagai layak jadi pemimpin adalah pemimpin sejati sebagaimana makna luhur yang terkandung dalam istilah pemimpin itu sendiri.
Mungkin, secara administrasi dan politis, mereka sekarang sedang atau akan menyandang jabatan sebagai pemimpin. Tapi itu tidak serta merta mengartikan bahwa mereka benar-benar pemimpin. Bisa saja ternyata pemimpin palsu. Pemimpin yang aji mumpung. Pemimpin yang sejatinya hanya memanfaatkan situasi dengan menumpang pada jabatan-jabatan yang pada dirinya sendiri sebenarnya adalah terhormat dan dengan itu dia juga terpaksa secara prosedur administratif-politis disebut terhormat, disebut pemimpin.
Ya, kata-kata ngenu-ngenu di atas mengingatkan kita bahwa faktanya memang ada pemimpin yang ‘menyamar’, berkamuflase. Istilah ombalöwa dan niwawalö itu sebenarnya sinonim, yakni pinjaman. Bukan milik sendiri. Milik orang lain. Kata-kata itu merujuk pada keaslian (orisinalitas) siapa sebenarnya si pemimpin. Secara simbolik berarti dia hanya meminjam jabatan itu untuk keperluannya. Bisa juga, dirinya sendiri adalah pinjaman. Di plot untuk ada di sana untuk memenuhi kebutuhan orang-orang yang ada di belakangnya.
Kata Ere merujuk pada status jabatan yang dihormati, teratas, mulia dan tidak setiap orang bisa menyandangnya. Kombinasi nama jabatan dan status keaslian langsung mengarahkan kita pada pesan sederhana bahwa berada di posisi Ere ternyata tidak serta merta pasti Ere asli. Jabatan Ere ternyata bisa hanya sebagai kedok. Kedok terkait apa? Nah, itu berlanjut pada bait kedua lagu itu, yakni: Ere mbetu’a ebua, Ere mbetu’a asolo.