Mohon tunggu...
Etika Fatana
Etika Fatana Mohon Tunggu... Lainnya - Fresh Graduate

Senang membaca buku dan menonton sepak bola

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tak Mungkin Ada yang Sempurna

26 Juni 2024   07:30 Diperbarui: 26 Juni 2024   07:36 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pukul delapan pagi. Tak ada yang lebih menyenangkan ketimbang jalan pagi di pinggir jalan raya, menuju stadion terdekat, lalu pulang. Hal itu sudah menjadi kebiasaan selama aku tinggal di kota ini. Berbulan-bulan yang kusorot hanyalah waktu yang kuhabiskan untuk jalan-jalan pagi. Sekarang aku tiba dititik jenuh. Bukan hanya jenuh pada kebiasaan ini, tapi juga pada kota ini.

Aku ingin pulang. Kembali tinggal bersama kedua orang tuaku. Menemani mereka setiap hari Minggu untuk bekerja bakti membersihkan belakang rumah atau menemani mereka untuk menonton pertandingan olah raga di televisi.

Aku spontan memberhentikan langkah. Sial, aku melewatkan minimarket itu. Terpaksa aku memutar langkah, ada air mineral yang harus kubeli. Lamunan pagi ini membuatku tidak fokus sama sekali.

Kembali berjalan, satu kilometer kemudian, tibalah di stadion. Ramai orang-orang yang tengah berlari, ada juga yang berjalan santai. Biasanya aku langsung melanjutkan jalan mengitari stadion, tapi kali ini memilih untuk menepi. Mencari tempat untuk duduk dan meluruskan kaki.

Pandanganku menatap sekeliling. Ada pasangan kekasih yang tengah berbincang manis sembari berjalan pelan, kalau dilihat sekilas mereka adalah pasangan yang berkecukupan, terlihat dari fisik serta setelan mereka. Diarah jam sembilan, aku melihat ada seorang pemuda sedang berlari, potongan rambutnya rapi, sorot matanya terlihat tenang dan percaya diri. Lalu radius tujuh meter dihadapanku, ada sebuah stand makanan, pemiliknya sibuk melayani pesanan, senyumnya tak memudar walau pelanggan tak memberikan waktu untuknya berhenti sejenak. Aku menghela napas. Orang-orang itu terlihat sempurna.

Kesempurnaan juga ingin aku raih. Makannya aku di sini. Makannya aku merantau karena aku ingin membenahi hidup. Perekonomian keluarga serta derajat orang tuaku harus membaik. Kerja dari pagi hingga sore, masih dilanjut kuliah di malam harinya, dan terkadang mengerjakkan side job juga. Aku banting tulang untuk ini. Setelah sibuk ini itu, aku ingin tidur, tetapi aku harus membersihkan kamar kos serta mencuci baju. Lelah, tapi sibuk memang yang aku mau agar tidak sempat berpikir yang macam-macam. Sayangnya, setiap akhir pekan, aku baru merasa sepi. Setiap akhir pekan, perasaaan tentang asingnya kota ini semakin kentara jelas. Kesempurnaan batal aku miliki.

“Aw!”

Sebuah bola mengenai pundak kananku. Aku meraihnya sebelum bola itu menggelinding mengenai orang-orang yang lain, lalu ada seorang anak laki-laki datang menghampiriku.

“Kakak, maaf.” Ia menampakkan sederetan gigi putihnya. Mungkin ia berusia enam atau tujuh tahun. Aku tidak melihat ada tanda-tanda orang tuanya.

“Punyamu?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun