Tidak Masalah jadi Epigon dulu?
Eti Haryati, Penulis Pemula
Seperti biasanya, hari ini saya ingin menuliskan sesuatu di blog saya ini, namun berkali-kali saya selalu dikalahkan oleh sebuah rasa yang saya juga tidak mengerti, kalau dibilang malas, justru saya merasa ingin sekali memulai menulis, tapi apa namanya selain malas saya tidak bisa menemukan kata selain itu.
Pernah mendengar yang namanya writer's block. Apa mungkin itu yang cocok untuk perumpamaan yang bisa menggambarkan yang saya alami. tetapi bukankah itu sebutan untuk mereka yang sudah sering menulis? sedangkan saya hanya baru mempunyai keinginan untuk menjadi penulis.
Niat untuk menjadi penulis sebenarnya sudah lama saya pendam, beberapa usahapun saya lakukan dengan mengikuti beberapa kelas menulis online. Tetapi ya.. begitulah sepertinya saya belum juga bisa menjadikan diri saya sebagai penulis, tugas-tugas yang harus dikerjakan dari setiap pertemeuaan di kelas-kelas online yang saya ikuti, selalu saja terlambat kadang  menyerahkan mepet pas batas waktu terakhir.
Sebenarnya saya sudah berusaha semaksimal mungkin. tetapi mungkin karena kemampuan saya dalam menulis yang begitu kurang sehingga membuat saya kesulitan dalam mengikuti dan mengerjakan tugas di kuliah online.
sampai pada saat menulis sekarang ini saya menemukan tulisan dari broadcash WA grup yang membuat saya tertarik untuk memulai menulis, meskipun dengan bahasa yang sederhana.
Tulisan ini entah siapa yang menuliskannya, tetapi mudah-mudahan dengan tulisan ini ada beberapa orang yang mungkin mengalami hal serupa seperti saya sekarang, merasa tidak percaya kepada diri sendiri untuk memulai menulis.
Satu kata yang baru saya ketahui dari tulisan itu adalah EPIGON. Dengan tidak bermaksud plagiat, Inilah ulasan dari ulasan itu yang saya salin kembali tanpa merubah satu kata pun.
Kata epigon memang jarang kita dengar. Sebab banyak yang tidak berkenan disebut epigon. Â Kata ini diduga memiliki kecenderungan makna negatif. Di dunia kepenulisan epigon adalah mengikuti gaya tulisan seseorang yang lebih dulu terkenal. Mengekor.
Dalam menulis tidak menutup kemungkinan seseorang terinspirasi dari tulisan orang lain. Misalnya, tulisan Dahlan Iskan (DI). Tidak sedikit orang yang terinspirasi gaya tulisan (DI).Â
DI dalam menulis jarang menggunakan kalimat yang panjang. Kata yang dipilih pun benar benar efektif. Ekonomi kata juga sangat diperhatikan. Tidak ada pemborosan kata kata pada setiap tulisannya. Efektif, inspiratif, dan selalu ada yang baru. Setidaknya itu gaya tulisan DI yang saya tangkap.
Tidak sedikit pula yang meniru gaya menulis A.S Laksana yang kontemplatif dan kerap menggunakan kalimat yang panjang.
Kita terlanjur sering mendengar dan percaya kepada para motivator dan instruktur menulis: kita harus menjadi diri sendiri, menulis dengan gaya atau style kita sendiri. Tidak salah, memang. Tetapi untuk menuju ke sana, tidak bisa ujuk ujuk. Ada proses panjang yang harus dilalui. Tidak masalah jadi epigon dulu. Tidak apa-apa. Ikuti saja gaya menulis seseorang dulu, baru nanti melepaskan diri dari orang yang kita ikuti. Itu bukan plagiasi dan tak pernah dianggap sebuah kesalahan dan dosa.
Pramudya Ananta Toer tidak malu mengakui bahwa karya karyanya banyak terpengaruh dengan gaya John Steinbeck. Bahkan novel realisnya seperti Of Mice and Man diterjemahkan Pram ke dalam bahasa Indonesia  menjadi Manusia dan Tikus.
Tidak hanya Pram, Â penulis roman Atheis Achdiat Kartamihardja secara terang-terangan dan jujur mengakui mempelajari teknik menulis pengarang asal Perancis Victor Hugo, penulis roman Les Miserables yang sangat terkenal itu.
Menjadi epigon bagi seorang penulis itu seperti seseorang yang sedang mencari jati dirinya. Seorang penulis akan mencapai tahap seperti yang dikatakan John Cowper Powys: yang paling penting bagi setiap pengarang ialah jiwanya sendiri..." Â itu harus melalui proses individuasi. Individuasi adalah proses melemahnya keterikatan pada gaya menulis figur yang ditiru atau diikuti.Â
Sehinga seorang penulis  berkembang sendiri sesuai dengan apa yang ada di benaknya, sesuai dengan pancainderanya saat menangkap pengetahuan, sesuai dengan darah yang mengalir di tubuhnya, sesuai watak dan karakternya.
Oleh karena itu tidak apa apa jadi epigon dulu. Semua ini butuh waktu. Ada proses panjang yang harus dilewati. Tidak instan. Style tulisan itu akan menjadi jenama pribadi seorang penulis.Â
Ia cuma bisa diamati, ditiru, dipelajari, atau mungkin dimofifikasi. Tidak bisa diajarkan. Â Seperti ungkapan William Faulkner bahwa tidak ada jalan mekanis untuk menulis atau mengarang. (*"/)
Demikian sebuah tulisan yang bermanfaat untuk saya, mudah-mudahan kedepan saya dapat menemukan jati diri dalam menulis. Bisa menulis dengan dan dari jiwanya sendiri. dan menjadi individuasi sepertiyang dikatakan John Cowper Powys.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI