Mohon tunggu...
Marietha Magdalena Sianipar
Marietha Magdalena Sianipar Mohon Tunggu... karyawan swasta -

A fulltime lover...full heart singer...full soul dreamer. Love to meet new person for some reason and make a good friendship, coffee time and share with many people but also feel comfort when stay alone in her lovely private room.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Pak De, Nasi Telor, dan Menunggu Air Panas Mendidih

27 Desember 2011   10:08 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:41 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam itu teman saya mengajak makan di warung kecil nan sederhana dekat kos-kosannya. Cuma sebuah teras dengan modal bangku kayu tua dan meja yang –bikin saya takut rubuh kalau naik kalau gilanya saya kumat dan iseng naik di atasnya.

Mendadak berbagai hal menari-nari dalam benak, menjalar dan menggelitik pikiran. Pak De, nasi telor, dan menunggu air panas mendidih. Saya mulai memikirkan si Pak De penjual nasi telor yang dengan sabar menunggu air panasnya itu. Saya memesan nasi telor atas saran seorang teman yang memang ikut makan bersama saya. Harganya murah. Itu kata teman saya. Dan memang sangat murah, empat ribu rupiah saja. Lidah saya yang alergi makanan manis sedikit terobati dengan nasi telor buatan Pak De. Sambelnya pedas. Bukan manis.

Warung Pak De sedang sepi. Katanya anak-anak kos pada pergi liburan natal. Padahal kan nggak semua anak kosan merayakan natal. Saya sendiri yang merayakan natal malah terdampar di warung Pak De. Tak seorang pun muncul setelah kami. Pak De tak banyak bicara. Setelah memberikan nasi telor pesanan kami, dia kembali melongok ke tungku di atas kompor. Menanti dengan sabar air panas yang dijerang di atas api.

Matanya sayu. Entah capek, entah mengantuk, saya tak tahu. Saya menatapnya sejenak, mungkin usianya sebaya ayah saya.Seharusnya di usia seperti itu, si Pak De sudah menikmati hidup. Liburan ke luar negeri, jalan-jalan di perkebunan kemudian menikmati pagi hari, duduk di teras minum kopi sambil membaca koran. Bukannya menyiapkan nasi telor dan menunggu air panas mendidih.

Saya sempat bertanya, si Pak De sudah berapa tahun menjual nasi telor. 15 tahun katanya. Well, mendadak saya merasa bersalah dengan mimpi-mimpi saya. Saya yang masih bekerja di usia muda dalam waktu yang belum bisa dikatakan lama, minggu kemarin protes karena bonus tahunan belum cair. Padahal saya tak harus menjual nasi telor dan menanti air mendidih selama 15 tahun. Saya mungkin hanya perlu menunggu beberapa hari dan menunda liburan. Mendadak saya merasa semakin bersalah, dengan khayalan tahun depan bisa liburan ke negara tetangga. Saya masih muda, bekerja belum lama. Tak menjual nasi telor, tak menunggu air panas mendidih. Selama 15 tahun pula. Tapi dengan sombongnya berencana melanglang kemana-mana. Mimpi ini itu setinggi-tingginya. Dan kalau boleh terwujud secepatnya!

Harusnya saya belajar lebih sabar dan sederhana mengingat si Pak De yang usianya sudah sebaya ayah saya tak pernah protes pada Yang Maha Kuasa…kenapa sampai kini dia masih harus menjual nasi telor dan menunggu air mendidih untuk menyambung hidupnya.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun