Mohon tunggu...
Saepudin Zuhri
Saepudin Zuhri Mohon Tunggu... Guru - Seorang pendidik

Belajar mendidik diri

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Bermain Bola Saat Orang Lain Khusyuk Tarawih, Nostalgia Ramadan

12 Mei 2020   17:37 Diperbarui: 12 Mei 2020   17:36 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kisah Untuk Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Ijinkan saya untuk bernostalgia Ramadan saat teknologi belum secanggih sekarang. Saat gadget masih menjadi barang langka. TV walaupun sudah berwarna, namun acaranya masih terbatas. Sehingga otomatis, untuk bermain, kami harus membuat alat-alat bermain sendiri. Mulai dari mobil-mobilan yang terbuat dari kaleng bekas susu, rangkanya dari bambu dan ban dari sandal bekas. Hingga pistol-pistolan dari bambu, yang dirakit dengan karet gelang dan pelurunya buah Hanjeli. Namun, kami sangat riang saat bermain.

Diantara permainan yang selalu membuat kami semangat tentu bermain bola. Berbekal bola plastik, setiap hari kami bermain bola. Bukan di lapangan bola, tapi di lapangan sekolah dasar di lingkungan rumah. Bermain hanya beralaskan sandal, atau bahkan telanjang kaki. Namun lebih dari cukup untuk menjadi hiburan setiap hari. Setiap sore, ketika sekolah kosong dari siswa yang belajar.

Lalu, bagaimana dengan Ramadan? Main bola tetap dilakukan, biasanya pagi setelah ceramah bada shubuh, atau sore sebelum bedug magrib. Namun, yang jadi kenangan hingga kini, adalah bermain bola saat orang lain khusyuk tarawih.

Berbeda dengan ramadan sebelumnya, saat itu sekolah mengadakan belajar dan pesantren kilat dengan dua gelombang. Pagi dan sore hari. Pagi untuk kelas 1-4 SD, sampai menjelang zuhur. Dan gelombang dua kelas 5-6 mulai zuhur hingga setengah jam sebelum magrib.

Akibatnya kami harus berfikir, kapan bisa main bola bersama. Tidak mudah untuk bermain bola, karena waktu pesantren yang berbeda. Jika sore, waktunya cukup sempit, dan teman-teman justru baru selesai pesantren Ramadan. Bila pagi, sebagian teman juga bersiap untuk mulai belajar.

Muncullah ide untuk bermain bola malam, setelah shalat tarawih selesai. Hari pertama Ramadan, kami melakukannya, dan baru sekitar sepuluh menit. Warga sekitar sekolah marah dan mengusir kami karena memang terlalu berisik. Walhasil, main bola sesuai rencana, gagal total.

Akhirnya salah seorang diantara kami melontarkan ide, untuk bermain bola setelah Isya, namun sebelum shalat tarawih ditutup dengan witir, harus kembali lagi ke masjid. Alasannya cukup sederhana. Pada momen itu, kebanyakan warga masih di masjid. Pasti lapangan SD aman. Warga lingkungan sekitar masih mendengar tausyiah lalu shalat tarawih. Selain alasan lain bahwa shalat tarawih itu tidak wajib, padahal main bola juga belum tentu berpahala.

Lalu bagaimana dengan tugas kami untuk mencatat ceramah tarawih. Untuk urusan ini, kami tinggal sedikit memodifikasi hasil catatan teman-teman perempuan. Siangnya di catat, malamnya minta ditandatangani penceramah. Lagi pula para penceramah jarang sekali mengecek catatan kami, mereka langsung paraf.

Selama seminggu, aksi main bola malam sesudah Isya mengobati rasa rindu bermain. Walau saat kembali ke masjid kami berkeringat. Para jamaah tidak terlalu curiga bahwa kami berkeringat bukan karena gerah dan shalat tarawih 20 rakaat. Kami benar-benar menikmati, hingga di minggu ke dua. Ustadz curiga karena kami selalu bergegas untuk keluar masjid setelah isya.

Walaupun kami telah hadir kembali saat shalat witir dimulai, salah satu teman kami yang tidak ikut main bola memberitahukan aktifitas kami. Akhirnya Pa Ustadz datang saat kami bermain bola. Kami dinasehati agar bermain bola di waktu lain, jangan mengorbankan tarawih. Beruntung ustadz menasehati kami dengan lembut. Sehingga kami menyadari akan kekeliruan yang disengaja itu.

Sejak itu, akhirnya kami hanya bermain bola pada hari minggu. Sedih memang, tapi bagaimana lagi. Baru setelah libur sekolah menjelang Idul Fitri, kami dapat bermain bola sepuasnya, pagi dan sore. Malam memang tidak main bola, tapi tarawih juga terganggu karena kami terlalu lelah dan berbuka berlebihan. Sehingga diantara kami seringkali tertidur saat sujud shalat tarawih.

Itulah sebagian kenangan yang masih tersimpan. Selain main petasan, berburu makanan berbuka dan membangunkan sahur keliling komplek. Masa yang akan selalu terkenang, saat teknologi belum secanggih sekarang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun