Pada umumnya, patriarki menempatkan posisi laki-laki berada di atas Perempuan dalam segala hal atau bidang. Yusalia (2014:198) berpendapat bahwa budaya patriarki mengacu pada kondisi sosial budaya yang memberikan pandangan bahwa laki-laki adalah superior. Kemudian, di era globalisasi, paham mengenai kesetaraan gender mulai masuk ke kehidupan masyarakat, tetapi eksistensi patriarki di Indonesia khususnya dalam budaya jawa masih tumbuh dan berkembang dengan apik. Sejak dulu, budaya jawa memang erat kaitannya dengan keberadaan patriaki di kehidupan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana kisah dari RA Kartini sebagai pahlawan emansipasi wanita Indonesia. Keberhasilan RA Kartini dalam memperjuangkan hak-hak Perempuan di masa dulu, setidaknya berhasil menciptakan kehidupan yang lebih baik bagi Perempuan Indonesia, terutama dalam hak untuk mendapatkan pendidikan dan pekerjaan. Selanjutnya pemerintah juga telah mengatur mengenai perihal tersebut melalui pasal 28 D Undang-Undang Dasar 1945, yang memberikan kesempatan bagi setiap orang baik laki-laki maupun Perempuan untuk memilih dan mendapatkan pendidikan dan pekerjaan. Dilansir dari Badan Pusat Statistik (2022), setidaknya telah ada 35,57 persen Perempuan yang bekerja sebagai pekerja formal pada tahun 2022. Fakta ini membuktikan bahwa peran Perempuan dalam dunia kerja mulai dipertimbangkan. Walaupun begitu, budaya patriaki ternyata masih tetap membebankan Perempuan terutama mengenai pandangan bahwa kodrat Perempuan adalah menjalankan pekerjaan domsetik. Pandangan ini kemudian tumbuh dan berkembang menciptakan gagasan baru berupa peran ganda bagi Perempuan hingga sekarang.
Konsep Perempuan dalam budaya jawa pada dasarnya merujuk pada bentuk fisik dan kodrat Perempuan yang disosialiasikan secara turun-temurun dan membentuk tatanan sosial yang sukar untuk diubah. Lebih lanjut, dalam Serat Candrarini, konsep Perempuan di budaya jawa meliputi: 1) Setia pada lelaki, 2) Rela dimadu, 3) Mencintai sesama, 4) Trampil pada pekerjaan perempuan, 5) Pandai berdandan dan merawat diri, 6) Sederhana, 7) Pandai melayani kehendak laki-laki, 8) Menaruh perhatian pada mertua, 9) Gemar membaca buku-buku yang berisi nasihat. (A.PMurniati dalam Budi Susanto, dkk; 2000: 24). Dari 9 konsep tersebut terlihat jelas bahwa peran Perempuan hanya seputar menikah dimana kemudian di sisa hidupnya akan dihabiskan untuk mengabdi dalam keluarga. Namun dewasa ini, adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mendorong perubahan paradigma mengenai peran Perempuan. Setidaknya sekarang ini, Perempuan telah mengemban dua peran yaitu pekerjaan sektor publik dan urusan domestik. Kondisi tersebut muncul akibat perkembangan gagasan hak kebebasan (freedom right) dan eksistensi budaya patriaki di Indonesia yang tumbuh secara beriringan. Di kebanyakan masyarakat jawa, fenomena tersebut menjadi sangat lumrah ditemui, khususnya di daerah-daerah pedesaan yang memang masih bersifat konservatif.
Sebelum berkembangnya kesadaran akan kesetaraan gender, masyarakat jawa kuno umumnya memandang Perempuan sebagai makhluk yang identik dengan urusan domestic. Dalam kehidupan pernikahan, kekuasaan seorang istri pada masyarakat Jawa tradisional hanyalah sebatas dalam hal-hal domestik seperti memasak dan mencuci. Sementara suami harus bekerja untuk mencari nafkah (Putri & Lestari, 2015). Kemudian pandangan ini mulai berubah, di mana banyak peran Perempuan Indonesia tidak hanya difokuskan pada urusan domestic saja. Sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 28 D Undang-Undang Dasar 1945, Perempuan sekarang memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan dan pekerjaan layak. Melalui dasar hukum tersebut, peran Perempuan mulai melebar ke bidang-bidang yang sebelumnya hanya tersentuh laki-laki saja. Akan tetapi, dalam kasus budaya jawa turunnya Perempuan, khususnya yang telah berumah tangga ke sektor publik dianggap sebagai bentuk upaya untuk membantu suami dalam memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Lebih lanjut, keterlibatan Perempuan dalam menafkahi keluarga sebagaimana yang diidentitaskan sebagai kewajiban laki-laki tidak juga membawa timbal-balik yang sama, terutama dalam pembagian tugas mengurus urusan domestik. Menurut Putri & Lestari (2015), masih terdapat ketidakseimbangan antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga. Laki-laki pada dasarnya memiliki kontribusi lebih sedikit daripada perempuan, di mana kontribusi laki-laki dalam urusan domestik berkisar selama  7,2 jam lebih rendah 6 jam daripada kontribusi perempuan.
Munculnya paham kesetaraan gender dalam kehidupan patriaki budaya jawa tidak serta merta menghilangkan tuntutan masyarakat, terlebih orang tua kepada perempuan untuk menjadi 'serba bisa'. Dalam artian ini, perempuan dituntut untuk tidak hanya bisa mengurus segala urusan domestik dan juga memiliki pekerjaan sektor publik yang mapan. Hal seperti ini sangat berbeda dengan tuntutan kepada laki-laki yang hanya sebatas bisa tercukupi atau mapan atas ekonominya. Menghadapi fenomena tersebut, pemerintah harus mendorong terciptanya regulasi mengenai keseimbangan peran bagi laki-laki maupun perempuan baik dalam urusan sektor publik ataupun urusan domestik. Pada dasarnya, melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 31, dijelaskan bawa perempuan dalam pernikahan memiliki hak dan kedudukan yang seimbang dengan laki-laki. Namun, adanya pandangan patriarki yang disosialiasasikan secara turun-temurun, pandangan akan perempuan yang identik dengan ibu rumah tangga sulit untuk dihilangkan. Oleh karena itu, dalam menyelesaikan permasalah peran ganda yang membebani perempuan tidak hanya diperlukan sebuah perlindungan hukum saja, melainkan juga solusi berkepanjangan. Hal ini disebabkan karena patriaki setidaknya telah tumbuh dan disosialiasikan dalam masyarakat khususnya jawa selama bertahun-tahun sehingga dapat dikatakan sebagai permasalahan struktural yang sulit untuk diuraikan atau dipisahkan dalam kehidupan masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H