Mohon tunggu...
ESTU PITARTO
ESTU PITARTO Mohon Tunggu... profesional -

Asia Pasific Innovative Teacher , writing, reading, and technology is my passion, pemilik blog indonesiamembacabuku.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Pocong Tak Lagi Menakutkan

15 Juli 2013   10:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:32 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Televisi adalah sebuah media telekomunikasi terkenal yang berfungsi sebagai penerima siaran gambar bergerak beserta suara, baik itu yang monokrom (hitam-putih) maupun berwarna (http://id.wikipedia.org/wiki/Televisi ). Adalah John Logie Baird, pria kelahiran Skotlandia yang tercatat sebagai penemu TV ini patut mendapatkan penghargaan minimal rasa terimakasih dari kita. Bagaimana tidak, melalui penemuannya kita dapat menyaksikan peristiwa yang terjadi di luar jangkauan panca indera. Melalu televisi ini pula kita dapat melintas ruang dan waktu yang berbeda-beda. Efek yang ditimbulkannya pun luar biasa sehingga sosok wewe gombel dan kuntilanak pun dapat membuat brownies setelah menonton acara memasak yang dipandu oleh farah Quin di teve ( hal.32 ), Berita kematian Steve Job yang disaksikan oleh para Pocong menjadi inspirasi bagi mereka menciptakan iPoc ( hal.32 ). Pocong dan makhluk lainnya tak lagi menakutkan karena tidak lagi menakut-nakuti manusia gara-gara aktifitas mereka yang baru, nonton televisi.

Perkembangan televisi saat ini sudah demikian pesat. Mulai dari teve tabung dengan dua warna saja yakni hitam dan putih kini semakin berinovasi dengan kehadiran produk smart teve. Kini hampir setiap rumah memiliki teve dari layar tabung hingga layar datar. Teve bukan lagi barang yang mahal, bahkan acara yang beragam pun semakin memanjakan manusia untuk betah di depan teve hingga teve pun berbalik menyaksikan manusia. Kita akui bahwa kehadirannya membawa dampak positif bagi perkembangan ilmu pengetahuan manusia. Hal ini juga mengisyaratkan bahwa sebagian besar pola pikir dan kebiasaan manusia terbentuk melalui informasi yang disampaikan melalui televisi.

Efek ini pula yang membuat fungsi teve menjadi dua sisi mata uang. Ada sisi positif dan tentu saja ada sisi negatif. Jika saja acara yang dihidangkan memiliki muatan nilai positif kehidupan maka peradaban manusia di bumi akan jauh melebihi kecerdasan alien yang konon lebih tinggi dari manusia. Bagaimana jika sebaliknya? acara-acara yang menyuguhkan berita kriminal, korupsi dan berita negatif lainnya memberikan persepsi seolah-olah bak contoh jika kita ingin melakukan perbuatan tersebut. Di sisi lain mungkin ada yang berpendapat bahwa peristiwa tersebut disajikan untuk menjadi hikmah bagi pemirsa agar tak melakukan hal serupa.

Buku kumpulan cerita pendek yang ditulis beramai-ramai oleh sepuluh orang ini bermaksud sebagai kritik media terhadap efek negatif yang ditimbulkan oleh teve. Lima sekawan yakni Papau, Ucok, Juan, Sugeng dan Teta yang terkenal dengan geng paling rajin ketika pergi ke langgar ( baca: masjid kecil atau surau ) berangsur-angsur tak lagi tampak batang hidungnya sejak kehadiran teve layar datar di rumah Ucok, Teta, Juan dan Sugeng. Mereka tak tampak hadir shalat maghrib di langgar karena asyik melihat tayangan kartun Naruto pas pada saat shalat maghrib ( hal.3 ). Ada pula tokoh Fani yang ditulis oleh Ina Chan dimana tokoh tersebut diangkat menjadi anak oleh Mimi Vivi dan Pipi Titi karena lebih banyak berkumpul dengan keluarga teve daripada bermain dan berkumpul bersama manusia pada kehidupan yang lebih nyata ( hal.8). Kisah lainnya diceritakan pula melalui tokoh Elsa Amorhosea yang bersikeras memutihkan kulitnya yang gelap gara-gara termakan oleh iklan krim pemutih kulit ( hal.47 ) dan banyak lagi kisah lainnya yang diceritakan oleh para penulis antologi cerpen ini.

Cerita yang disampaikan dalam antologi cerpen ini memang mengungkapkan efek negatif yang lebih banyka daripada efek positif, tetapi bukan berarti teve itu tidak bermanfaat bukan? Masalah efek negatif tersebut bukan terletak pada teve karena teve hanyalah sebuah benda yang tak bisa mengambil sikap. masalah yang utama adalah pada diri manusia ketika menyikapi fungsi teve tersebut. Mungkin saja stasiun televisi yang ada hanya bersifat menyampaikan acara-acarnya selanjutnya biarkan pemirsa yang menentukan pilihannya untuk mengambil hikmahnya atau menelan mentah-mentah pesan yang ada. Jika kita sudah menyadari bahwa masalahnya ada pada manusia maka solusinya pun ada pada manusia. Kita tak bisa hanya cuek melihat tontonan televisi. Mengandalkan lembaga sensor acara seperti KPI di Indonesia saja tidak cukup karena ada keterbatasan yang tak bisa terjangkau oleh mereka. Masyarakat lah yang memiliki peran paling penting dalam mengontrol tayangan di televisi. Lihat saja bagaimana tayangan sebuah iklan yang dinilai melecehkan guru segera diubah skenarionya setelah mendapat laporan dari masyarakat, mungkin saja dari para guru.

Cerita yang menarik dalam antologi ini dapat pula menjadi salah satu solusi untuk kepentingan hiburan bagi anak-anak kita. Jika saja buku yang diterbitkan oleh Yayasan Tifa dan Lespi ini didongengkan kepada anak-anak tentu dapat menjadi pengalih kebutuhan anak akan hiburan. Baca saja di halaman 17 yang diceritakan oleh Ajang ZA dimana tokoh Suyanto Musimduren berubah drastis dari sosok anak yang suka dengan teve menjadi anak yang suka membaca buku gara-gara teve di rumah rusak. Ini pula yang pernah saya alami dengan anak kami, ketika teve kami di rumah rusak, saya hadirkan banyak majalah anak sebagai penggantinya. Alhasil anak kami kini mulai terpola untuk gemar membaca. Jadi, menonton teve memang memberikan kita hiburan dan pengetahuan tetapi haruslah tetap dalam pengawasan. Imbangi pula dengan literasi berupa buku agar kebiasaan menonton acara televisi tak menghilangkan kegemaran membaca bagi setiap anak manusia.

Cerpen antologi “pocong nonton tivi” sebagai dongeng literasi media ini layaknya diikuti oleh karya-karya lainnya sehingga semakin banyak referensi dongeng yang bisa dijaikan penyeimbang acara hiburan di teve. Hanya saja di dalam kumpulan cerita pendek ini belum ada satu homogenitas segmen pembaca. Ada beberapa yang disajikan dengan bahasa anak usia sekolah dasar tetapi ada pula yang hanya bisa dicerna oleh anak-anak usia remaja. wajar karena memang latar belakang penulis yang berbeda-beda dan saya kira di kemudian hari akan muncul karya serupa tetapi dengan segmen pembaca yang satu. Semoga bermanfaat.

Data Buku :

Judul : Pocong Nonton Tivi – Dongeng Literasi Media Penulis :

Doni Riadi, Catastrova Prima, Sigit Wiratmo, Widyo Babahe Leksono, Ina Chan, Ajang ZA, Wesiati S, Wiwien Wintarto, Latree Manohara, Sendang Mulyana

Penerbit : Yayasan Tifa dan Lespi Tahun : 2012 Jumah Halaman : 82

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun