Salah satu produk nasional yang bersifat global yang membutuhkan perlindungan terhadap hak atas merek tersebut adalah merek ayam geprek bensu yang diklaim antara "I AM AYAM GEPREK BENSU (PT. AYAM GEPREK BENNY SUJONO)" dengan "I AM GEPREK BENSU SEDEP BENERRR (RUBEN SAMUEL ONSU)" yang melalui proses hukum panjang dari pengadilan negeri sampai keluarnya putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 57 K/Pdt.Sus-Merek/2019/PN. Niaga Jakarta Pusat, tertanggal 13 Januari 2020.
  Dari sudut pandang hak kekayaan intelektual, pembentukkan aturan diperlukan karena adanya sikap penghargaan, penghormatan, dan perlindungan tidak saja akan memberikan rasa aman, tetapi juga akan mewujudkan iklim yang kondusif bagi peningkatan semangat untuk menghasilkan karya-karya lebih besar, lebih baik, dan lebih banyak.
   Membuat suatu reputasi usaha melalui merek dapat dilakukan dalam upaya mengindetifikasi atau membedakan produk satu perusahaan dengan produk perusahaan lain yang sama dalam pasar. Bahkan sangatlah memungkinkan bahwa merek yang telah dikenal luas oleh konsumen karena mutu dan harganya akan selalu diikuti, ditiru, dibajak bahkan mungkin dipalsukan oleh produsen lain dalam melakukan persaingan bisnis atau dagang. Perilaku persaingan curang tidak hanya terjadi di Indonesia tapi lazim pula terjadi di negara-negara lain tidak terkecuali di negara-negara industri maju, persoalan pelanggaran merek tetap terjadi.
   Seseorang bahkan perusahaan mungkin telah menggunakan nama yang sama, hampir sama (mirip) dengan logo, simbol atau citra dari karakter yang digunakan sebuah perusahaan terkenal untuk memikat konsumen. Dengan cara demikian perusahaan tersebut seolah-olah menjiplak reputasi orang lain atau perusahaan lain dan dianggap telah mengambil (mencuri) konsumen dan telah menipu masyarakat luas. Melihat hal ini perlindungan hukum menjadi penting karenanya reputasi bisnis yang mendapatkan perlindungan merek dapat mencegah terjadinya tindakan licik (jahat) tersebut.
  Berkembangnya dunia usaha dan bisnis saat ini dengan beragam merek, maka hal ini tidak menutup fakta banyak terjadi pelanggaran merek terutama pada merek-merek terkenal. Pada saat ini modus pelanggaran merek telah bergerak ke tingkat yang lebih canggih, pelanggaran merek ini disebut passing off (pemboncengan reputasi). Pemboncengan merek sering disebut dengan passing off atau pemboncengan reputasi dimana perbuatan mencoba meraih keuntungan dengan cara membonceng reputasi (nama baik) sehingga dapat menyebabkan tipu muslihat atau penyesatan.
  Passing off memiliki pengertian bahwa perlindungan hukum diberikan terhadap suatu barang atau jasa karena nilai dari produk tersebut telah mempunyai reputasi. Adanya perlindungan hukum ini mengakibatkan pesaing bisnis tidak berhak menggunakan merek, huruf-huruf dan bentuk kemasan dalam produk yang digunakannya. Passing off juga diartikan sebagai tindakan yang mencoba meraih keuntungan melalui jalan pintas dengan segala cara dan dalih melanggar etika bisnis, norma kesusilaan maupun hukum.
  Untuk mewujudkan perlindungan hukum terhadap berbagai persaingan yang dilakukan pihak ketiga sehingga menimbulkan kerugian kepada pemilik hak kekayaan intelektual khususnya hak atas merek, berbagai negara telah pengeluaran peraturan perundangundangan yang dapat dipergunakan untuk menggugat atau menuntut ganti rugi ke pengadilan. Di Indonesia tuntutan ganti rugi terhadap pelaku pembajakan dan pemalsuan serta para pelaku persaingan curang pada hak atas merek diatur dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 Tentang Merek Dan Indikasi Geografis.
   Pengelolaan merek dalam sistem hukum di Indonesia dimulai dengan diberlakukannya UU No. 21 Tahun 1961 tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan pada tanggal 11 Oktober 1961.25 Undang-Undang merek tahun 1961 ini diperbaiki dengan UU No. 19 Tahun 1992 yang mulai berlaku efektif tanggal 1 April 1993. Selanjutnya diubah lagi dengan UU No. 14 Tahun 1997 pada tanggal 17 Mei 1997. Berdasarkan pertimbangan bahwa merek mempunyai peran penting dalam era globalisasi dan juga untuk mempertahankan persaingan usaha yang sehat serta diratifikasinya perjanjian internasional seperti telah dijelaskan sebelumnya, dibuatlah satu undang-undang merek baru yang dapat memenuhi kebutuhan usaha sekarang, yaitu Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 yang diberlakukan sejak tanggal 1 Agustus 2001.
   Selain undang-undang ini terdapat pula dua peraturan pemerintah, yaitu Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 1993 tentang Tata Cara Permintaan Pendaftaran Merek dan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1993 tentang Kelas Barang atau Jasa bagi Pendaftaran Merek.27 Sampai saat ini yang berlaku mengatur tentang merek adalah UU No. 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis.UU 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis disahkan Presiden Joko Widodo pada tanggal 25 November 2016 dan UU No 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 252 dan Penjelasan Atas UU 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5953 oleh Menkumham Yasonna H. Laoly pada tanggal 25 November 2016 di Jakarta.
   Berdasarkan pasal ini, hal yang digunakan sebagai alasan untuk menuntut ganti rugi adalah merek dalam perdagangan barang atau jasa yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau secara keseluruhan dengan merek orang lain yang telah terdaftar. Pemilik merek terdaftar dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Niaga terhadap pihak lain yang secara tanpa hak menggunakan merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya untuk barang atau jasa yang sejenis berupa gugatan ganti rugi dan/atau penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan merek tersebut.
  Di dalam UU No. 20 Tahun 2016 Tentang Merek Dan Indikasi Geografis memuat segala hal yang berkaitan dengan proses pendaftaran merek itu sendiri mulai dari syarat dan tata cara permohonan, pengalihan hak atas merek terdaftar, lisensi, penghapusan dan pembatalan pendaftaran merek, penyelesaian sengketa merek hingga ketentuan pidana.