Dalam sebuah wawancara dengan saluran Fox News, Mark Zuckerberg, pemimpin raksasa media sosial Facebook, menyinggung lawan beratnya, Twitter karena melakukan fact check atau pemeriksaan fakta pada kicauan Presiden Trump di akun Twitter pribadinya. Zuckerberg menilai bahwa perusahaan swasta tidak seharusnya menjadi 'the arbiter of truth' wasit atau penentu kebenaran.
"Kami memiliki kebijakan yang berbeda dari Twitter," kata Zuckerberg dalam segmen The Daily Briefing yang tayang pada hari Kamis (28/5).
"Saya sangat percaya bahwa Facebook seharusnya tidak menjadi wasit kebenaran atas semua yang dikatakan orang secara online" tambahnya.
"Perusahaan swasta mungkin tidak boleh, terutama perusahaan platform ini, tidak boleh dalam posisi melakukan itu."
Zuckerberg membuat komentar tersebut setelah Presiden Trump memperingatkan raksasa media sosial bahwa pemerintah federal dapat "sangat mengatur" atau "menutupnya" jika mereka terus "membungkam suara-suara konservatif."
Pendiri facebook itu bersikap seolah bisa memaklumi ancaman Trump tersebut. Bahwa  sensor pemerintah mungkin dilakukan karena khawatir fact check media sosial dilakukan dengan tidak tepat.
Pernyataan Zuckerberg sontak mendapatkan respon dari banyak pihak. Pasalnya sikap Facebook terhadap polarisasi berita yang berkembang dalam kanal media sosialnya sudah diketahui cenderung longgar. Bahkan banyak yang menuding sejak awal Facebook memang tidak terlihat serius dalam memeriksa fakta apapun yang diposting oleh penggunanya.
Facebook telah menghadapi kritik di masa lalu karena gagal menangani konten kontroversial di platform, tetapi tampaknya Zuckerberg tidak memiliki rencana untuk mengubah kebijakan perusahaan.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa fleksibilitas sebuah media sosial menjadi daya tarik bagi pengguna untuk mengekspresikan pendapatnya. Semakin banyak dan berkembang ide dan pendapat-pendapat tersebut, maka semakin banyak kemungkinan pendapatan yang diperoleh perusahaan. Namun tentu saja ini membuat hoaks pun merajalela.