Masa Ramadan dan menjelang Lebaran bisa jadi cermin keberagaman dan keber-agama-an bagi para religius Muslim di Indonesia.
Mengapa demikian? Karena jelang momen-momen ini, ada ratusan tradisi yang dilakoni orang-orang di berbagai daerah di Nusantara. Tak percaya? Silakan scrolling ke artikel-artikel Kompasiana, Anda akan menemukan betapa kayanya kita akan tradisi ini. Seolah-olah ekspresi religi itu mendapatkan muaranya di Lebaran.
Besar di kota, membuat saya tidak begitu mengenal tradisi di kampung. Berbeda dengan suami saya, yang lahir dan besar di kampung. Ia paham betul seluk-beluk adat dan tradisi daerahnya. Maka hari ini saya memintanya untuk menceritakan tradisi jelang lebaran di kampungnya.
Negeri Tial atau Desa Tial, terletak di pulau Ambon, kecamatan Salahutu, kabupaten Maluku Tengah, provinsi Maluku. Salah satu negeri yang penduduknya memeluk agama Islam. Suami saya asli dari sana.
Selayaknya negeri-negeri lainnya di Maluku, masyarakat Tial memiliki adat gotong-royong yang kental dalam kehidupan masyarakatnya. Ini tercermin dalam tradisi mereka menjelang Lebaran.
Di sore 30 Ramadan, atau sehari sebelum Lebaran, warga masyarakat Tial akan mengantar nampan berisi ketupat-ketupat ke masjid. Proses itu disebut antar alina. Setiap kepala keluarga mengirimkan satu nampan hantaran ketupat.
Memang mama-mama di Negeri Tial sudah pasti selalu menyiapkan ketupat untuk dimakan saat lebaran. Maka mereka akan membuatnya berlebih untuk dihantar ke masjid.
Para pengurus negeri pun melakukan hal yang sama. Mulai dari Raja hingga Dewan Adat yang disebut Saniri Negeri pun ikut bagian dalam proses antar alina tersebut. Hanya saja yang membedakannya dengan warga adalah bagian hantaran mereka harus lebih banyak dan lebih beragam jenisnya.
Masjid pun akan terlihat ramai dengan ribuan ketupat dan penganan lainnya berdatangan dari seluruh penjuru negeri Tial.
Malam hari 30 Ramadan itu juga akan disemarakkan dengan para pemuda keliling kampung melakukan pawai takbiran.
Keesokannya di hari Idul Fitri, masyarakat saling bersilaturahmi ke keluarga masing-masing. Barulah ketika tiba sore hari, warga akan berkumpul di area pelataran masjid untuk mengikuti tahapan selanjutnya dari antar alina.
Setelah salat Asar, ketupat-ketupat yang diantar oleh warga itu akan didoakan oleh Imam, para pengurus (penghulu) masjid beserta seluruh jamaah yang ada. Setelah prosesi doa selesai, makanan-makanan tersebut akan diarak ke luar masjid, untuk diperebutkan oleh seluruh warga.
Tradisi berebut itu sangat menarik, penuh tawa bahagia dan sorakan semangat para bocah, pemuda-pemudi, mama-mama, hingga para tetua negeri.
Nilai moral dari tradisi antar alina tentunya tidak hanya untuk mempererat tali silaturahmi antar warga, tapi juga terdapat semangat gotong royong dan ungkapan kesyukuran telah dianugerahkan kesempatan oleh Sang Maha Kuasa untuk bertemu dengan Ramadan.
Entahlah apakah tahun ini, antar alina masih tetap bisa dilaksanakan? Pandemi telah membuat banyak hal berubah. Bahkan mungkin tradisi pun harus segera disesuaikan.
---
25 Ramadan 1441H
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H