Saya memang bukan penghafal Al-Quran, saya hanya bisa meluangkan waktu 10 sampai 15 menit dalam satu hari untuk mengaji itupun tidak rutin. Dan yang saya maksud mengaji adalah membaca ayat dan terjemahannya, mengulang-ulang terjemahan dan mencari tafsirnya dari buku-buku yang ada atau googling dari tulisan para ulama.Â
Selebihnya, saya cenderung tenggelam membaca buku-buku. Banyak dari buku-buku itu juga adalah buku-buku yang membedah Al-Quran dari berbagai sudut pandang kajian.Â
Saya pikir, dengan menimpali pembicaraan si teman dengan pengetahuan yang saya baca, diskusi kami itu akan semakin kaya. Tetapi saya tercekat pada kalimatnya.
"Saran saya jangan terlalu membaca buku-buku, kembali lagi ke Al-Quran dan Hadist. Itu adalah pedoman hidup".Â
Kalimat itu mirip bukan dengan yang disampaikan  si pengomentar di Youtube? Maka seketika saya kembali terintimidasi oleh teman tersebut. Terintimidasi dalam makna yang sebenarnya.Â
Saya tentunya mengimani Al-Quran dan Hadist sebagai pedoman. Tetapi sebagai anak manusia yang tahu kapasitas diri, mempelajari sesuatu yang suci seperti Al-Quran tidak bisa langsung dilakukan sendiri dengan ilmu yang terbatas. Karena itu, untuk mempelajarinya kita dianjurkan berguru dan merujuk pada ulama.Â
Bila dipaksakan mempelajari sendiri, yang terjadi adalah penggunaan ayat-ayat Al-Quran tersebut sekehendak atau semaunya secara serampangan. Jangankan sendiri, yang sudah berguru saja, bisa berguru pada yang keliru.Â
Tentu ada adab dalam mempelajari agama, salah satunya adalah dengan mempelajari tafsir dari orang-orang berilmu, dan bila itu tidak didapatkan secara langsung, maka bisa dilakukandengan lebih banyak membaca dan memperluas bahan bacaan mengenai pendapat orang berilmu tersebut. Bukankan banyak cendekiawan muslim yang menulis buku, lantas mengapa harus membatasi membaca buku?
Menyarankan agar HANYA membaca Al-Quran dan hadist saja justru akan menimbulkan banyak sekali pertanyaan, mengingat ilmu kita yang terbatas. Bila keliru mencari tempat bertanya, maka keliru pula mengaplikasi ajarannya. Lagipula, bukankah perintah untuk membaca, tidak secara spesifik membatasi hanya membaca Al-Quran saja?
Tetapi baiklah, demi menghormati teman yang saleh tersebut saya tidak menimpali ucapannya. Dan tetap berprasangka baik, bahwa ia saleh dan hanya sedang mengekspresikan kesalehannya.
Di suatu hari yang lain, saya yang aktif di Instagram iseng mengulik aplikasi itu di bagian postingan apa saja yang disukai oleh orang-orang yang saya follow. Saya tertegun pada gambar-gambar yang disukai oleh teman saya yang saleh itu. Ia ternyata ikut menyukai beberapa gambar pose wanita tanpa busana. Maka, untuk ketiga kalinya, saya merasa terintimidasi. Kali ini, karena saya tertipu kesalehan superfisial atau kesalehan di permukaan, kesalehan yang begitu dangkal.