"Pada sebuah laci yang tertutup aku menyimpan agama bersama mainan-mainanku yang lain . Jika kawan-kawanku berkunjung dan mengajakku bermain aku akan mengeluarkan semua mainanku. Kecuali yang satu itu."  (Sebuah Laci Yang Tertutup, Theoresia Rumthe)
Saya beberapa kali kecele dengan teman-teman yang beragama Buddha, karena salah mengira agama apa yang mereka anut. Terus terang agak sulit dan membutuhkan waktu yang agak lama untuk bisa mengetahui bahwa ada seseorang di antara teman-teman saya itu beragama Buddha. Mereka tidak gampang dikenali, terkecuali  bila mereka adalah biksu dan biksuni, yang bisa dikenali hanya dalam sedetik karena tampilan pakaiannya.
Tata laku bersahaja yang selalu tampak dari teman-teman itu, seakan menunjukkan apa yang disebut Theoresia dalam puisinya di atas. Bila agama membuat orang menjadi angkuh, maka lebih baik disimpan saja ia di laci yang tertutup.
Dalam hal tersebut, kadang saya tertohok. Intimasi teman-teman itu dengan ajaran yang mereka anut tidak serta merta membuat mereka menunjukkan diri menjadi yang paling Buddhis. Tidak seperti sebagian umat agama yang saya anut, yang ketika baru memulai keintimannya dengan agama, sudah berlaku seperti orang yang paling suci dan tak berdosa.
Atau mungkin itu karena penganut Buddha bertitik tolak dari pandangan mendalam bahwa segala di dunia adalah samsara, penderitaan. Para penganut Buddha dianjurkan melakukan pertapaan-pertapaan panjang dan berpuasa dari segala sesuatu selama melakukannya. Diharapkan setelah itu, mereka mampu memiliki ketenangan hati, kejernihan pikiran untuk melihat realita kehidupan, lalu memahami penderitaan orang-orang di dunia.
Pandangan tersebut sejatinya memiliki spirit atau pesan moral yang serupa dengan Ramadan. Puasa Ramadan mengajak setiap Muslim untuk menahan diri dari nafsu duniawi berupa kelaparan dan kehausan untuk memahami penderitaan orang-orang, memahami kerendahan, kehinaan dan kemiskinan dirinya di hadapan Tuhan.
Begitulah ibadah agama- agama, senantiasa mendidik penganutnya akan pesan moral tertentu. Namun, terkadang tak sedikit penganut agama yang hanya fokus pada ritus, dan melupakan pesan moral di balik ritus itu.
Hari Waisak, diperingati umat Buddha sebagai peristiwa kelahiran, pencerahan dan wafatnya Buddha. Guru Sidharta ini terdorong untuk meninggalkan kemapanannya dan berusaha mencari makna di balik kenyataan hidup yang fana.
Seolah ingin menyampaikan bahwa kebahagiaan manusia justru tercapai pada momen orang menemukan makna di balik tragedi dan kerasnya kehidupan. Â
Apa kaitan peringatan Waisak dengan Ramadan di tengah pandemi? Bahwa sudah sepatutnya kita memang berdamai dengan segala bentuk tragedi dan penderitaan ini.
Itu jugalah yang saya tangkap dari pesan Presiden Jokowi baru-baru ini, yang disampaikan di hari yang sama dengan momentum peringatan Waisak.
Sudah saatnya kita berdamai dengan Covid-19. Pesan yang oleh sebagian orang diasumsikan bahwa Presiden menyerah dalam perang melawan pandemi ini. Padahal, apa yang dikatakan pemimpin kita itu, memiliki makna filosofis yang dalam.
Selayaknya Guru Sidharta yang memilih embracing the misery, merangkul penderitaan, demikian juga orang-orang yang berpuasa Ramadan mencoba merasakan penderitaan kehausan dan kelaparan, seperti itu juga seharusnya kita membuka pikiran kita dan jernih melihat tragedi yang diakibatkan oleh virus ini.
Membuka mata batin untuk melihat ketidakpastian, kesakitan, dan kehilangan yang sedemikian besar disodorkan di depan mata kita.
Lalu mulai menginisiasi penyebab dari penderitaan itu sendiri, yakni ketidaktahuan, keserakahan, kebencian, iri hati, keangkuhan, yang kemudian mengembangkan kita berpikiran dan membayangkan hal-hal negatif.
Perayaan Waisak yang syahdu di tengah Ramadan, mengajak semakin banyak orang untuk berdamai dengan penderitaan.
Semakin orang-orang mencoba berdamai dengan penderitaan itu, maka mereka semakin melampaui sekat-sekat agama, sekat-sekat kesukuan, sekat-sekat bangsa. Seluruh dunia larut dalam tragedi yang sama. Yang tumbuh adalah solidaritas, persaudaraan dan altruisme yang kian menggeliat.
Selamat merayakan Waisak mu yang syahdu, wahai saudara-saudariku penganut ajaran Guru Sidharta. Semoga semua makluk berbahagia.
---
Catatan 14 Ramadan 1441H (2564 BE)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H