Saya dan suami adalah pasangan suami istri asal Maluku yang berdomisili di Jakarta karena pekerjaan kami. Di satu malam di pertengahan bulan Ramadan tahun kemarin, saya dan suami membahas tentang mudik atau tidak. Fokus utama kami adalah harga tiket yang meroket tajam dan sepertinya harga itu bukan pesawat ulang-alik, jadi tidak bakal turun ke bumi dalam waktu dekat.
Saya mengajukan tidak mudik. Selain karena harga tiket, juga karena tercatat kami sudah beberapa kali pulang semenjak Menikah. Ya, Ramadan tahun lalu datang berselang 7 bulan setelah pernikahan kami. Dalam durasi itu, saya sempat sekali pulang kampung dan tinggal sekitar 3 bulanan lamanya.Â
Saat itu agenda kerja suami memang sangat padat, sering dinas ke luar kota. Sementara saya yang sedang dalam pengobatan kista menuruti permintaan ibu untuk berobat di kampung. Alhasil suami yang bolak balik mengunjungi.Â
Sehari sebelum Ramadan saya menyusul suami ke Jakarta, menemaninya melewati Ramadan. Maka, menimbang segala biaya yang sudah keluar selama 7 bulan itu, saya mantap tidak mudik.
Alasan saya rasional, dan sepertinya tak terbantahkan. Suami tampak setuju, berkali-kali menganggukan kepala, dan tampak mendengar dengan sangat seksama. Kami mengakhiri diskusi malam itu dengan lebih banyak pelukan untuk saling menguatkan. Sebuah keputusan berat akan diambil. Tidak mudik tahun itu.
Tapi masih saya ingat jelas, bagaimana selepas salat shubuh keesokan harinya, ia berbisik di telinga saya. "Kita tetap pulang saja ya, saya tidak bisa biarin kamu sepi-sepian lebaran di sini. Kalau harga tiket mahal, bukan kebiasaan mudiknya yang harus kita ubah sayang, tapi cari duitnya yang harus lebih ulet. Dan itu tugas saya. Yuk mudik."
Dan begitulah akhirnya kami tetap mudik tahun lalu. Menikmati beberapa hari terakhir Ramadan itu dan lebaran pertama kami sebagai pasutri di rumah kedua belah keluarga secara bergantian. Nikmat yang akan sangat kami rindui tahun ini.
Ketika harga tiket turun seperti harapan dan doa para pemudik, termasuk saya di tahun lalu (yang baru dikabulkan tahun ini). Bandara justru menjadi haram kami. Iya, haram adalah kata yang tepat menurut saya. Karena saat pandemi seperti ini, mudik berarti membawa kemungkinan menyakiti banyak orang. Dan menyakiti orang lain adalah sesuatu yang dilarang agama.
Kami berdua memang dalam keadaan sehat saat ini, dan semoga seperti itu. Tetapi bahkan ketika ada kesempatan untuk mudik di hari-hari kemarin sebelum larangan mudik diberlakukan, kami tetap berpikir seribu kali untuk mudik.
Bila boleh berharap satu hal saja saya tidak akan meminta banyak. Bukan lagi harga tiket yang turun. Tapi, asalkan pandemi ini cepat berakhir saja. Semoga yang ini tidak dikabulkan tahun depan. Kami sangat ingin berangkulan dengan kerabat nanti di lebaran. Aamiin.