Semalam saat bersama suami menyiapkan sahur sambil mendengarkan berita di TV, saya sempat teringat keluarga di kampung halaman, juga orang-orang yang akan sangat merasakan betapa berbedanya Ramadan tahun ini.
"Ya Allah, Semoga semua kembali normal, kembali seperti sedia kala" ujar saya.
"Tergantung apa yang kamu maksud sebagai normal dan sedia kala" Suami saya menimpali.
Lalu mulailah diskusi itu. Diskusi yang mempertanyakan, bagaimana bila inilah justru cara Tuhan mengembalikan semua seperti sedia kala dalam kemahabijaksanaan-Nya?
Bagaimana bila kondisi saat ini adalah jawaban dari rintihan segelintir umat-Nya yang kerap kali kecewa pada hirarki status, egoisme, individualisme, dan kapitalisme yang menindas?
Bagaimana kalau perhitungan kita tentang awal mula pandemi telah meleset, bagaimana bila pandemi ini bukanlah permulaan melainkan sebuah proses menuju penyelesaian?
Bagaimana bila penglihatan kita tentang impian-impian yang tidak tercapai, ekonomi yang hancur, mata pencaharian yang hilang, adalah segala yang kasat belaka? Bagaimana bila ada hal-hal yang perlu dilihat dengan mata batin, seperti solidaritas dan altruisme yang kembali menggeliat?
Ya diskusi itu sepintas lalu saja, teralihkan dengan topik lain yang entah apa. Tapi tentang 'kenormalan' yang saya sebut-sebut dalam ujaran itu benar-benar membuat saya berkontemplasi.
Kita semua mendefinisikan apa yang seharusnya "normal" bagi diri kita sendiri. Kemudian kita menjadi terikat pada visi tersebut. Seperti konsep bahwa "Orang-orang akan bekerja keras, membeli kendaraan dan rumah, bertemu dan bergaul dengan orang-orang lain, memulai bisnisnya sendiri lalu menghidupi dirinya dan keluarganya."
Kita berkomitmen pada visi kenormalan seperti itu. Kita menerima visi itu seperti sesuatu yang sudah selayaknya, mau tidak mau, karena semua orang begitu. Maka ketika visi itu diambil dari kita, kita menjadi sangat kesal.
Tapi bagaimana bila, Kekacauan inilah yang normal.
Bukankah, pandemi telah terjadi di sepanjang sejarah manusia? Selama ratusan tahun, orang-orang merespon pandemi dengan pembatasan sosial, pembatalan berbagai event, penutupan bisnis, bahkan membatalkan pertemuan-pertemuan dan ritual keagamaan yang bersifat masif. Sekolah dan ruang publik juga pernah ditutup sebelumnya.
Bahkan Sir Isaac Newton yang terkenal dengan teori-teorinya tentang gravitasi dan optik, pernah mengalami situasi lockdown atau karantina wilayah pada tahun 1966 ketika Inggris dilanda The Great Plague. Kata "karantina" sendiri berasal dari kata Italia "quaranta" yang ditemukan pada abad ke-14 sebagai respons terhadap wabah hitam.
Demikian pula, krisis ekonomi dan politik adalah normal bagi sejarah manusia. Hal-hal ini terjadi setiap 20-30 tahun hampir seperti jarum jam di sebagian besar dunia. Bahkan dalam setiap sepuluh tahun selalu ada beberapa peristiwa besar yang mengubah dunia.
Ini menyebabkan saya berlama-lama memikirkan pertanyaan, bagaimana bila inilah cara Dia yang Maha Besar menjaga keseimbangan dalam kehidupan manusia?
Kembali ke soal kenormalan, saya rasa reaksi manusia terhadap krisis ini juga cukup normal. Pembatasan sosial secara historis di seluruh dunia telah menghasilkan berbagai protes dan reaksi politik dari mereka yang mata pencahariannya terancam.
Krisis ekonomi telah mengundang intervensi yang intens dari pemerintah, menghasilkan dampak yang luas dan kemarahan politik. Bahkan keluhan bahwa semua orang bereaksi berlebihan, tidak hanya umum, tetapi secara praktis adalah keluhan yang universal.
Ini bukan kenormalan yang "baru". Ini normal saja. Sangat normal. Seperti tanggapan kita terhadapnya. Kita benar-benar tidak orisinil dalam pengalaman kita saat ini.
Tetapi selama harapan itu hanya terbatas pada gelembung-gelembung kecil pengalaman individual dan fokus kita hanya melihat beberapa tahun ke masa lalu atau masa depan kita, maka kita akan terus-menerus merasa sangat sedih atau sangat marah karena telah dirampok dari imajinasi kita tentang apa itu 'normal'. Kenormalan yang imajiner.
---
Renungan 1 Ramadhan 1441 HÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H