Mohon tunggu...
Esti Maryanti Ipaenim
Esti Maryanti Ipaenim Mohon Tunggu... Jurnalis - Broadcaster, seorang ibu bekerja yang suka baca, nulis dan ngonten

Menulis gaya hidup dan humaniora dengan topik favorit; buku, literasi, seputar neurosains dan pelatihan kognitif, serta parenting.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Dari Koran, Aku Akhirnya Memeluk Perubahan

6 Desember 2019   19:17 Diperbarui: 6 Desember 2019   21:46 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : Kompas.id

Perubahan sedang terjadi di kota, Aku menyadarinya setiap pagi. Namun hari-hariku terlalu menyenangkan karena aku asyik dengan kolom-kolom teka-teki silang yang perlu aku isi jawabannya ini. Dan karena ada percakapan setiap hari dengan para pelanggan koran yang datang, mereka ramah-ramah.

Juga karena anjing dan kucing yang selalu nongkrong di depan kiosku dan menghabiskan sisa makananku atau sisa makanan orang yang dibuang di tong sampah toko sebelah. Maka aku tak begitu ingin peduli dengan perubahan yang terjadi di kota ini.

Tapi hari itu, melalui celah papan kios, aku melihat orang-orang berlalu lalang sambil menatap benda dengan layar mini itu di tangan mereka. Beberapa juga dengan penutup telinga yang bermacam-ragam warna dan coraknya.

Mereka tampak memiliki dunia mereka sendiri-sendiri, hanya sesekali menatap jalan, agar tidak bertabrakan dengan pengguna jalan yang lain, lalu tenggelam lagi dengan entah pemandangan apa di layar itu.

-

Anakku pulang dari studinya di luar kota. Ketika makan-makan pertama kami setelah kepulangannya, ia bercerita banyak hal. Sesuatu yang jarang sekali ia lakukan ketika aku menghubunginya di telepon. Aku senang melihatnya yang bersemangat, sampai ketika ia mengusulkan sesuatu dan selera makanku langsung hilang.

"Perubahan itu sedang terjadi, Yah. Kita harus memeluk perubahan" katanya mengingatkanku untuk menutup usulannya. 

Aku hanya tersenyum lalu beranjak, kembali bersiap menuju kiosku. Saat hendak membereskan koran-koran sisa hari ini, seorang pria mampir.

"Apakah boleh numpang colokan HP?" tanyanya sambil menatap port colokan di papan yang biasanya aku gunakan untuk kipas angin.

"Oh, boleh! Kebetulan saya sedang tidak pakai kipas angin" kataku mempersilakan.

Pria itu langsung mencolokkan HP nya. Lalu duduk di kursi yang ada di samping kabel colokan dan mengutak-ngatik hpnya itu.

"Kehabisan baterai ya, Mas?" tanyaku

"Iya, padahal ada berita penting tadi yang sedang saya baca"

"Berita dari keluarga?"

"Bukan, berita di Kompas"

"Oh, gak baca di koran aja Mas? Ini masih ada Kompas nya" tawarku

Orang itu mendelik, lalu tersenyum dengan hanya menaikkan satu bibirnya

"Gak usah pak, udah ada yang online"

Aku lalu meneruskan membereskan sisa koran hari itu. Kutatap harian Kompas yang masih tertinggal beberapa eksemplar. Tak mengapa, besok juga akan ada yang datang untuk membeli koran bekasnya. Ini rezeki mereka, batinku

Lima belas menit kemudian, pria itu akhirnya mengangkat kepalanya dari layar HP dan mencabut colokan charger-nya dari port, menghampiriku dan menyerahkan selembar dua puluh ribu rupiah. .

"Terima kasih untuk colokannya pak" kata pria itu sambil melambai dan pergi.

-

Keesokan harinya, perubahan itu kusadari semakin Jelas. Salah satu agen koran yang biasanya datang membawakan koran pagi itu tidak kunjung muncul. Aku menelponnya,

"Seterusnya tidak akan ada koran itu lagi, sudah tidak beroperasi. Orang-orang sekarang tidak baca koran Pak, mereka baca berita onlen. Saya harus cari pekerjaan lain"

Aku melengos. Tapi masih ada agen koran lainnya yang tetap datang. Wajah mereka agak lesu, sepertinya karena berita berhenti beroperasinya salah satu koran nasional itu.

"Besok-besok akan ada lagi yang bangkrut Pak. Kita harus cari pekerjaan lain" kata satu per satu dari mereka sambil bergegas mengantar koran ke loker lainnya.

Sekitar jam 11, Mbak Asih, salah seorang yang sering membeli koran bekas untuk lepek lemari mampir ke kios. Ia rupanya baru menjemput anak majikannya pulang sekolah.

"Pak, numpang colokannya ya. Ini HP si dedek habis baterai. Nangis terus kalo gak nyala. Ntar saya dimarah ibu kalo pulang si dedek terus nangis"

Kupersilahkan Mbak Asih menggunakan colokan.

Seekor kucing buang kotoran di depan kios. Aku lalu memungut kotoran itu dengan koran bekas dan kubuang ke tong sampah toko sebelah. Lima belas menit kemudian Mbak Asih beranjak, berterima kasih lalu menyodorkan selembar sepuluh ribu rupiah. Sepanjang sisa hari itu, tidak ada satupun orang yang datang membeli koran.

Sorenya turun hujan lebat. Anakku yang pulang dari wawancara kerja itu basah kuyup. Ia mendengus kesal karena sepatu pantofel yang baru ia beli untuk wawancara kerja itu basah total.

Setelah mandi air hangat dan meminum teh jahe yang aku rebus, anakku kusuruh beristirahat. Ia masih kesal, katanya besok siang akan ada wawancara di perusahaan lainnya. Dan ia tidak bisa pergi karena kemungkinan sepatunya belum kering.

Saat ia sudah tertidur, kuambil sepatu yang sedang diangin-anginkan anakku dengan kipas angin itu. Kumasukkan beberapa lembar koran ke dalamnya. Luarnya juga kubalut dengan berapa lapis koran sisa hari itu.

-

Esok paginya aku akhirnya memeluk perubahan itu. Seperti biasa aku sudah bersiap sejak habis subuh di kios. Menunggu para agen koran. Hanya dua agen yang datang kali ini. Tak mengapa, aku sudah siap memeluk perubahan itu, batinku

Anakku bangun dan mendapati sepatunya sudah kering, ia begitu semringah dan memelukku lalu bergegas berangkat untuk interview.

Aku mengambil karton bekas yang biasanya untuk tempat menaruh koran-koran bekas. Karton itu sudah mulai menipis isinya, kupindahkan sisa isinya ke karton lainnya.

Lalu di karton itu kutuliskan perubahan itu, kutempelkan di depan kiosku. Luar biasa, sepanjang hari itu, mondar mandir orang datang menghampiri kiosku. Untung besar hari ini.

Sorenya, anakku pulang dengan semringah, ia diterima kerja.

"Maafkan aku yang kemarin meminta ayah menjual kios koran. Padahal karena koran-koran itulah sepatuku bisa kupakai untuk interview hari ini. Dunia memang berubah Yah, tapi perubahan apapun itu, Ayah tidak perlu khawatir. Aku sudah kerja, gajiku akan cukup untuk hari-hari kita berdua." katanya meyakinkan

Aku menepuk bahunya.

"Untukmu saja, Nak. Tak usah kau khawatirkan ayahmu. Seperti katamu, Ayah sudah memeluk perubahan itu" kataku sambil menunjuk ke karton bertuliskan SEWA COLOKAN UNTUK CAS HP.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun