Mohon tunggu...
Esti Maryanti Ipaenim
Esti Maryanti Ipaenim Mohon Tunggu... Jurnalis - Broadcaster, seorang ibu bekerja yang suka baca, nulis dan ngonten

Gaya hidup dan humaniora dalam satu ruang: bahas buku, literasi, neurosains, pelatihan kognitif, parenting, plus serunya worklife sebagai pekerja media di TVRI Maluku!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Sensasi Para Kutu Buku Menjadi Mayoritas di MRT

17 September 2019   00:02 Diperbarui: 18 September 2019   04:54 628
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apa sebutan di Indonesia untuk mereka yang suka membaca dalam berbagai kesempatan? Ya, kutu buku.

Kadang saya berpikir, mengapa harus kutu? Saya menerka-nerka jawaban sendiri, mungkin saja karena filosofi kutu yang ukurannya kecil dan suka menjelajah area yang luas dan lebat.

Seperti para pembaca yang selalu merasa diri kecil atau merasa ada hal yang lebih besar daripada dirinya sendiri yang ingin ia jelajahi  yakni cerita dan pengetahuan yang luas dalam lebatnya belantara kata-kata, dan itu ditemukannya dalam buku.

Meskipun filosofi yang saya terka itu terdengar okay, namun penggunaan idiom kutu buku itu sendiri saya curigai sebagai salah satu faktor pemicu mengapa orang tidak suka membaca.

Kutu selalu diasosiasikan negatif. Kutu hidup, beranak-pinak dan membuat kepala orang menjadi gatal. 

Tidak ada orang yang mau mempunyai kutu di kepalanya. Bila kedapatan ada, mereka akan langsung membunuhnya. Demikian pandangan general orang akan kutu.

Sulit untuk menduga semua orang akan menyelisik dan menemukan filosofi kutu buku seperti yang saya kemukakan di depan.

Ada spekulasi yang mengatakan idiom kutu buku itu adalah pemberian kolonial dengan maksud agar orang-orang tidak suka membaca karena alergi dengan kata kutu yang disematkan pada buku. Dengan begitu, orang-orang Indonesia tidak akan pintar  dan mengancam kedudukan penjajah.

Setelah saya pikir-pikir, iya juga ya. 

Bukankah kita tidak pernah tahu sejak kapan idiom kutu buku itu mulai digunakan? Dan bukankah memang banyak idiom yang hari ini kita gunakan adalah warisan kolonial?

Orang yang terlihat membaca di berbagai kesempatan akan sontak disebut kutu buku, dianggap aneh, dan dikira tidak memiliki teman.

Wajarlah bila tidak banyak orang yang mau terlihat membaca di berbagai kesempatan. Orang-orang yang menunggu bis di halte, orang-orang yang naik kendaraan umum seperti  kereta, bis, dan pesawat , atau mereka yang sedang antri di bank, jarang ditemui membaca dalam kesempatan-kesempatan itu. 

Ada sih, namun jumlahnya sangat sedikit alias minoritas. Dan semua orang tahu menjadi kelompok minoritas itu tidak enak. Padahal para pembaca yang minoritas inilah yang justru berperan penting dalam mensosialisasikan kebiasaan membaca.  

KeREADta menjawab keresahan mereka yang selalu dilabeli kutu buku ini dengan membuat flash mob membaca di transportasi publik. Ini merupakan tahun ketiga flash mob KeReADta diadakan.  

Tahun pertama dan kedua, flash mob diadakan di dalam KRL commuter line Jakarta. Kali ini untuk pertama kalinya KeREADta diadakan di dalam MRT (Moda Raya Terpadu) dengan rute Stasiun Bundaran HI - Stasiun Lebak Bulus - Stasiun Bundaran HI.

Dok. KeREADta 2019
Dok. KeREADta 2019

Kegiatan yang dilaksanakan pada Minggu 8 September 2019 lalu bertepatan dengan Hari Aksara Internasional dan berhasil memberikan sensasi menjadi mayoritas bagi para kutu buku.

Saya yang juga terlibat sebagai relawan dalam acara tersebut merasakannya sendiri. Ternyata menyenangkan juga dilihat orang lain bukan dengan tatapan aneh atau juga dicuekin. 

Relawan KeREADta yang menempati setiap gerbong  MRT justru menarik tatapan ingin tahu dan ingin mengenal buku yang sedang kami baca dan kampanye yang sedang kami usung. 

Yang paling menggemaskan adalah tatapan dari anak-anak penumpang MRT, yang berbisik ke orang tuanya dan bertanya, "Kakak-kakak itu sedang apa?"

Dan kami pun akan mampir menjelaskan kepada mereka sambil menghadiahkan mereka buku anak-anak. Betapa semringah wajah mereka mendapat hadiah buku.

Dok. KeREADta 2019
Dok. KeREADta 2019

Acara yang juga diikuti oleh Gubernur DKI Anies Baswedan ini, melibatkan lebih dari 200 orang relawan membaca dari semua kelompok usia bahkan juga melibatkan kelompok disabilitas.

KeREADta memang disambut baik oleh Pemprov DKI dan MRT Jakarta, yang kebetulan juga di saat yang sama menginisiasi program #RuangBacaJakarta di stasiun MRT Bundaran HI Jakarta. 

Melalui program tersebut MRT Jakarta menyiapkan Kotak Donasi Buku dan menyiapkan Rak Buku untuk penempatan Buku Donasi di 13 Stasiun MRT Jakarta.

Selain itu, banyak pihak berkolaborasi untuk mensukseskan flash mob KeREADta 2019 ini. Di antaranya ada Yayasan Taman Baca Inovator, Indoreadgram, Booktube Indonesia, Pandulisane, Indorelawan dan lain-lain.

Dok. KeREADta 2019
Dok. KeREADta 2019

Setelah flash mob membaca, kegiatan dilanjutkan dengan talkshow bertema "Make Reading a Trend".

Diisi oleh para pembicara yaitu Chiki Fauzi (Spokeperson Wardah), Muhammad Kamaluddin (Kepala Divisi Sekretaris Perusahaan PT MRT Jakarta), Stefanni Bella (Penulis buku Elegi Renjana), dan Sophia Mega (Booktuber dan penulis buku Loe Ngerti Siapa Gue).

"KeREADta jadi salah satu gerakan penting untuk mulai memperlihatkan bahwa buku dapat dibaca oleh siapa saja, diperbincangkan dengan menyenangkan dan menumbuhkan kebiasaan membaca tersebut di sela-sela waktu yang kita miliki." Ujar Sophia Mega yang membuat saya manggut-manggut selama sesi talkshow berlangsung.

Bayangkan bila di MRT, di kereta, atau pun di halte bis, anda melihat banyak orang yang juga membaca. Anda tidak lagi merasa minoritas, tidak lagi merasa sendirian, dan tidak akan jadi soal dilabeli dengan ungkapan kutu buku atau apapun itu.

Sampai Jumpa di KeREADta 2020, tularkan terus virus membaca!  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun