Sejarah manusia menunjukkan bahwa kemarahan bisa menimbulkan banyak masalah. Prasangka dimana-mana, gampang tersulut provokasi, perang berkecamuk, korban berjatuhan, dan permusuhan yang berabad-abad diwariskan dari generasi ke generasi. Semua itu terjadi hanya karena otak diekspansi oleh emosi kemarahan dan ketidakmampuan untuk memaafkan.
Namun sejarah juga menunjukkan sosok pribadi-pribadi yang memiliki kecerdasan emosi tingkat tinggi, yang mampu menahan kemarahannya dan menyalurkan energi itu pada hal- hal yang membawa maslahat bagi banyak orang. Di antara mereka adalah Ali bin Abi Thalib dan keturunannnya, Mahatma Ghandi, Nelson Mandela, HOS Tjokroaminoto, Orang-orang Nanjing di China, atau orang-orang Indonesia sendiri yang memaafkan bangsa-bangsa penjajah atas tanah ini ratusan tahun silam.
Perlakukan Muawiyyah terhadap Ali dan keturunannya, perbudakan di India oleh Inggris, diskriminasi terhadap orang-orang kulit hitam di Afrika, kebrutalan Jepang di Nanjing dan penjajahan orang-orang Belanda di tanah air, adalah perbuatan-perbuatan yang dibenci dan dikutuk dengan keras oleh tokoh-tokoh di atas. Namun kebencian yang besar itu tidak mereka terjemahkan dalam bentuk perilaku yang destruktif, karena perilaku destruktif hanya akan membuat tiada beda antara tokoh-tokoh tersebut dengan mereka yang melakukan kejahatan-kejahatan itu.
Tidak mudah tentu saja. Ada energi besar dalam kemarahan dan butuh kekuatan besar pula untuk meredamnya dan mengalihkannya menjadi kemaafan. Di sinilah pentingnya sebuah kecerdasan emosi, atau lebih khusus akan saya sebut kecerdasan memaafkan.
Saya ingat kata-kata Corrie Ten Boom dalam buku The Hiding Place "Forgiveness is an act of the will, and the will can function regardless of the temperature of the heart". Kutipan yang tepat sekali menggambarkan posisi bagaimana 'maaf' diproses oleh otak kita.Â
Memaafkan atau tidak memaafkan adalah sebuah tindakan keputusan yang diproses di prefrontal cortex (PFC) otak kita. Sedangkan rasa sakit dan luka serta kemarahan diproses di hipotalamus. Mengetahui hal ini memberi kita gambaran bahwa sikap memaafkan adalah produk dari fungsi eksekutif tertinggi dari otak kita yang juga menunjukkan level yang tinggi dari kemampuan otak seseorang.
Orang-orang yang mampu bereaksi berdasarkan hasil kerja dari PFC, akan lebih tenang dan legowo untuk memaafkan kesalalahan orang lain, sebesar apapun luka dan rasa sakit yang mereka terima. Sebaliknya, orang-orang yang lebih dikendalikan oleh hipotalamus akan lebih emosional dan tidak mampu berpikir jernih. Inilah mengapa orang-orang yang mudah memaafkan disebut memiliki kecerdasan tingkat tinggi.
Memaafkan adalah puncak pencapaian dari pengetahuan intelektual dan spiritual. Dan pencapaian seperti inilah yang sangat dibutuhkan sepanjang zaman. Karena di mana pun dan kapanpun akan selalu ada cerita orang-orang melakukan kesalahan dan khilaf, karena kesalahan dan kekhilafan itu sendiri menunjukkan manusiawi nya seseorang.Â
Dan akan selalu ada pula luka yang ditimbulkan oleh kesalahan dan khilaf tersebut. Atau dalam bahasa para terapis dan ahli meditasi; kita dilukai orang tua kita, orang tua kita dilukai kakek dan nenek. Kakek dan nenek juga dilukai oleh orang tua mereka. Dan mata rantai saling melukai ini hanya bisa diputus oleh kecerdasan memaafkan tersebut.
Selain itu, ada sejumlah manfaat dari memaafkan. Sebuah penelitian yang dipublikasikan oleh Journal of Health Psychology menyebutkan bahwa memaafkan diri sendiri atau orang lain dapat memengaruhi kesehatan mental. Misalnya, seseorang jadi tidak mudah stres.Â