Kasus perundungan atau bullying yang baru-baru ini kembali terjadi di Pontianak dan viral hingga membuat netizen mengeluarkan tagar #justiceforAudrey membuat kita mau tidak mau kembali mengevaluasi konstruksi sosial masyarakat kita terhadap perilaku ini. Masyarakat kita pada umumnya mungkin lebih menganggap urgensi terhadap penanganan kasus tawuran atau anak yang terlibat narkoba di sekolah dibandingkan terhadap perilaku bullying. Baru setelah kasus mencuat, kita dibuat terbelalak. Sudah sepantasnya kita terus membuka mata untuk melihat fakta-fakta di sekitar tentang perilaku ini. Berikut ini adalah 5 fakta mengenai bullying yang penulis rangkum dari berbagai sumber:
Acapkali Diabaikan
Bullying lebih sering dianggap sebagai bagian dari tumbuh kembang anak dan remaja. Tapi anggapan itu salah besar. Bullying adalah bentuk awal dari perilaku agresif dan kasar. Statistik sebuah penelitian menunjukkan bahwa satu dari empat anak pelaku bullying akan memiliki catatan kriminal sebelum usia 30 tahun.
Mudah Mengidentifikasi Pelaku
Bila orang tua dan guru di sekolah mau jujur dan sedikit lebih peduli, pelaku bully atau yang berpotensi melakukan bullying bisa dengan mudah diidentifikasi. Yakni mereka yang sering menyebabkan masalah-masalah di sekolah, keluarga maupun dalam hidup bertetangga. Masalah-masalah ini sering diabaikan karena dianggap hal yang sepele atau biasanya terapologi dengan kalimat "namanya juga anak-anak".
Jangan salah, justru bullying bermula dari hal-hal yang nampak sepele seperti mengejek, mengambil uang makan siang anak lain, menghina, hingga mengancam, menendang, mendorong atau melakukan pengeroyokan. Bagi pelaku semua itu dianggap sebuah permainan semata dan juga pelajaran yang setimpal diberikan kepada siapa saja yang menurut mereka menjadi penganggu mereka.
Buntut Panjang dari PembiaranÂ
Bila kita membiarkan perilaku ini, maka anak-anak biasanya akan mengasumsikan bahwa kita melegitimasi perbuatan ini. Ia akan menganggap bahwa bullying adalah hal yang biasa dilakukan oleh sebaya mereka. Selain itu, membiarkan tidak hanya berarti bahwa kita mensukseskan pembully menjadi calon kriminal, melainkan juga turut bertanggung jawab atas kecemasan dan ketakutan yang dapat menyebabkan anak-anak lainnya menghindari sekolah, menjadi defensif dengan kemungkinan membawa senjata untuk perlindungan, ataupun memupuk jiwa pendendam bagi korban bully yang akan membuatnya melakukan hal yang sama atau justru lebih kejam dari yang ia terima. Baik pembully dan korban memilki potensi dan resiko yang sama untuk menjadi kriminal di saat dewasanya.
Fakta Tentang Korban
Walaupun siapapun bisa saja menjadi target perilaku bullying, namun korban lebih sering dipilih atas dasar sifat psikologisnya dibandingkan sifat fisiknya. Tipikal korban pada umumnya cenderung pemalu, sensitif, dan mungkin cemas atau insecure. Sementara beberapa lainnya dipilih karena alasan fisik seperti kelebihan berat badan atau kecil secara fisik, cacat, atau memiliki ras atau kepercayaan agama yang berbeda.