Mohon tunggu...
Esti Maryanti Ipaenim
Esti Maryanti Ipaenim Mohon Tunggu... Jurnalis - Broadcaster, seorang ibu bekerja yang suka baca, nulis dan ngonten

Gaya hidup dan humaniora dalam satu ruang: bahas buku, literasi, neurosains, pelatihan kognitif, parenting, plus serunya worklife sebagai pekerja media di TVRI Maluku!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menyoal Identitas Tunggal (?) Brenton Tarrant

16 Maret 2019   20:53 Diperbarui: 17 Maret 2019   06:29 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku pemuda kulit putih biasa, dari keluarga miskin dan pekerja kasar.

Brenton Tarrant, 28 tahun, Teroris Chirstchurch Selandia Baru

Demikian kalimat si peneror dalam manifestonya yang sedang viral di lini massa. Manifesto berbau neo-Nazi yang tak ayal membuat kaget dunia. Dalam kalimat tersebut kita mengenal bahwa Brenton mewakili empat kelompok identitas, yakni pemuda, orang kulit putih, kelas miskin dan pekerja kasar atau buruh.

Namun dari keempat kelompok identitas tersebut, hanya satu identitas pembeda yang menjadi basisnya melakukan teror menargetkan kelompok Muslim Imigran yang menurutnya mengancam identitas kelompoknya, yakni identitas sebagai orang kulit putih Eropa. Brenton melupakan kelompok identitasnya sebagai pemuda, dengan bengis ia menembaki yang seusia dengannya. Brenton juga tidak peduli bahwa mungkin saja ada diantara korbannya yang juga dari kelas miskin, sama seperti klaimnya sendiri terhadap dirinya. Dan Brenton lebih tidak peduli lagi  bahwa di Mesjid itu mungkin ada beberapa orang yang juga adalah pekerja kasar.

Lantas mengapa identitas sebagai seorang kulit putih lah yang ia pilih sebagai satu-satunya identitas ? Amartya Sen, seorang filosof dan intelektual asal India dalam bukunya "Identitas dan Kekerasan" mempertanyakan hal yang kurang lebihnya sama. Seperti diceritakan dalam buku tersebut, di masa kecilnya, Sen menyaksikan kengerian peristiwa pembantaian orang Muslim oleh orang Hindu di India. Ia mengaku bingung dengan kekerasan pada waktu itu. "Bagaimana bisa seorang pekerja harian yang miskin dapat dilihat hanya memiliki satu identitas - yakni sebagai seorang Muslim yang menjadi bagian dari komunitas "musuh" - ketika pada saat yang sama ia juga menjadi bagian dari banyak komunitas lainnya?" Demikian tanya Sen dalam bukunya. 

Pertanyaan ini menjadi PR bersama masyarakat dunia, khususnya karena dalam gegap gempita globalisasi dan digitalisasi ini, sekat-sekat identitas kelompok masih saja menjadi hambatan besar. Sekat-sekat tersebut menjadi pemantik terorisme. Pada setiap kelompok, orang-orang berbicara tentang kebebasan, sebuah nilai yang menyangkut banyak aspek termasuk kebebasan hidup, mobilisasi atau berpindah tempat serta memeluk keyakinan tertentu.

Sementara kebebasan mungkin merupakan nilai universal yang diterima banyak orang, tidak bisa dipungkiri ada manusia-manusia seperti Brenton yang lebih suka hidup dalam nilai yang sempit. Ia justru takut akan konsep kebebasan itu. Insekuritas tersebutlah yang membuatnya cenderung memilih satu kelompok dan memusuhi kelompok lainnya. Seolah-olah identitasnya hanya ada dalam oposisi biner.

Brenton, seniornya Anders Breivik, - mungkin juga yang harus disebut - senator Anning, Donald Trump dan Hitler adalah contoh-contoh manusia penganut teori identitas soliter. Yakni sebuah gagasan yang mengatakan bahwa identitas manusia dibentuk oleh keanggotaan satu kelompok sosial tunggal,  seolah semua orang dikurung dalam kotak kecil yang sempit dan muncul hanya untuk saling menyerang. Identitas soliter ini hanya akan melahirkan intoleransi yang berujung pada kekerasan dan terorisme.

Kini saatnya bercermin pada diri sendiri, apakah tindak tanduk kita di Indonesia juga mengarah pada identitas soliter yang berbahaya ini?

---
Baca juga artikel terkait berikut ini : Kaum Muda dan Radikalisme, Topik Lama Rasa Sama

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun