Rabu kemarin tepatnya tanggal 5 Februari 2019 pukul 09.30 WIT terjadi kebakaran di kantor Telkom Ambon. Kebakaran tersebut berdampak pada jaringan komunikasi yang menggunakan layanan lembaga ini di antaranya, Telkomsel, Indie Home, Transfer ATM, dan tentu saja serta transportasi online seperti Gojek dan Grab. Aktivitas komunikasi di Ambon diklaim lumpuh total.
Di jalan, saya mendengar keluhan dan sumpah serapah ditujukan kepada provider Telkomsel. Mungkin karena terdapat lebih banyak pengguna Telkomsel di kota ini dibandingkan pengguna penyedia jasa telekomunikasi lainnya.
Saya juga menyaksikan sendiri antrian di kios-kios yang menyediakan kartu provider lain seperti Indosat. Tapi selang 12 jam kemudian, jaringan Telkomsel kembali berfungsi secara bertahap. Siang ini, saat saya menuliskan artikel ini, jaringan di pusat kota Ambon sudah semakin membaik, meskipun memang perlu waktu untuk bisa benar-benar pulih seperti sediakala.
Artikel ini tidak akan menyoroti peristiwa kebakaran kantor Telkom, seberapapun penasaran saya akan kejadian itu. Tulisan ini juga tidak akan membahas mengenai Telkomsel dan berapa banyak kerugian yang dideritanya akan kejadian ini. Atau membahas apresiasi untuk pihak Telkom yang mampu mengatasi masalah kurang dari 24 jam, sungguh sebuah kerja tim yang luar biasa. Tulisan ini hanya ingin membahas keresahan manusia milenial akan hilangnya akses komunikasi berbasis internet.
Saya adalah salah satu di antara begitu banyak yang merasakan dampak langsung dari kejadian ini. Sebagai blogger dan content creator paruh waktu, kemarin saya tidak bisa melakukan aktivitas keseharian ini. Maka sudah terbayang di benak saya, bagaimana mereka dengan mata pencaharian yang bergantung sepenuhnya pada jaringan internet seperti para pengemudi ojek online.
Orang-orang seperti mereka lah yang lebih patut was-was dan mengeluh. Saya juga langsung membayangkan kejadian Tsunami Palu, di mana orang-orang kehilangan akses komunikasi, terutama sekali untuk mengabarkan kondisi terkini para anggota keluarga di sana pasca bencana tersebut. Dalam subjek dan kasus yang demikian, ketidakhadiran jaringan komunikasi adalah nightmare.
Untuk tipe masyarakat kita dewasa ini, internet memang telah menjadi kebutuhan yang krusial. Dengan massive-nya peralihan sistem kehidupan dari yang konvensional menjadi serba instan dengan modal smartphone, maka mau tidak mau internet seolah-olah dijadikan kebutuhan primer. Banyak kerugian yang bisa ditimbulkan dan dirasakan oleh masyarakat saat ini dengan ketidakhadiran internet.
Tetapi bila kita merenung sejenak internet hanyalah satu dari sekian banyak tools yang manusia ciptakan untuk membantu dan memudahkan kehidupan. Artinya ketidakhadiran internet mungkin akan menyulitkan penghidupan orang-orang, namun tidak serta-merta melenyapkan kehidupan itu sendiri.
Internet sama sekali belum bisa menggantikan posisi makanan, udara ataupun air, yang tanpanya manusia akan mati. Kehidupan tetap akan berlangsung tanpa jaringan internet, memang pasti agak sulit tapi manusia akan menemukan cara untuk mengatasi kesulitan itu.
Dibandingkan mengeluh dan bersumpah serapah, ada beberapa hal yang juga bisa disyukuri dari hilangnya akses internet selama beberapa waktu tertentu. Yakni, hilangnya dinding pembatas 'gadget' antar anggota keluarga di rumah. Kita menjadi tahu siapa yang sangat peduli pada kita, dan siapa yang sangat kita pedulikan. Serta, kita bisa memanfaatkan waktu tersebut untuk istirahat sejenak dari kehidupan maya yang seringkali melelahkan.
Lumpuhnya akses internet kemarin telah menancapkan sebuah tonggak mind set baru bagi saya yakni "internet is not everything". Mind set yang mungkin harus ditanamkan dalam setiap diri individu generasi ke depan. Karena terbukti, beberapa jam kehilangan akses internet, toh tetap bisa kita lewati.