Di sisi lain, dalam beberapa kasus kekerasan dan perundungan juga dapat muncul dari posisi otoritas yang salah dalam institusi pendidikan. Misalnya, tindakan intimidasi atau pelecehan yang dilakukan oleh guru terhadap siswa dapat menimbulkan trauma psikologis yang serius dan berdampak jangka panjang. Bukti-bukti kasus semacam ini telah terdokumentasikan dalam literatur psikologi dan pendidikan, menyoroti perlunya pendekatan yang lebih holistik dalam menganalisis dan menangani permasalahan ini.
Adapun faktor-faktor struktural yang melatarbelakangi kekerasan dan perundungan dalam dunia pendidikan, perlu untuk mempertimbangkan konstruksi kebijakan pendidikan yang mungkin memperkuat atau bahkan menciptakan lingkungan yang mendukung terjadinya kekerasan. Ketika kebijakan dan sistem pengelolaan sekolah tidak mampu memberikan perlindungan yang memadai bagi para pelajar, hal ini dapat menyebabkan terjadinya kelalaian dalam penanganan kasus-kasus kekerasan dan perundungan.
Selain itu, dalam kaitan konsep psikologi perlu untuk mempertimbangkan bahwa pelaku kekerasan seringkali memiliki latar belakang psikologis tertentu yang memengaruhi perilaku mereka. Misalnya, penelitian dalam psikologi perkembangan menunjukkan bahwa anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan keluarga yang kurang stabil atau mengalami tekanan emosional cenderung mengekspresikan perilaku agresif atau mendominasi sebagai mekanisme pemahaman diri atau pencapaian kontrol atas lingkungan mereka. Dengan demikian, untuk mengatasi permasalahan kekerasan dan perundungan dalam pendidikan, diperlukan pendekatan yang holistik yang mengintegrasikan aspek sosial, psikologis, dan struktural. Diperlukan langkah-langkah konkret, seperti penyusunan kebijakan yang mendukung, pelatihan bagi para pengajar tentang pendekatan yang inklusif dan pengelolaan konflik, serta pembentukan mekanisme pengawasan yang efektif untuk memastikan lingkungan pendidikan yang aman dan mendukung. Kesadaran dan partisipasi aktif dari seluruh komunitas pendidikan, termasuk pemerintah, institusi, dan masyarakat, juga menjadi krusial dalam memastikan implementasi yang efektif dari langkah-langkah tersebut.
Ketika menjelajahi lebih jauh ke dalam kompleksitas permasalahan kekerasan dan perundungan dalam dunia pendidikan Indonesia, terlihat bahwa kondisi sosial-ekonomi dan budaya juga dapat memainkan peran penting dalam memicu atau memperpetuasi perilaku-perilaku destruktif di lingkungan pendidikan.
Adanya kesenjangan ekonomi yang signifikan di antara siswa-siswa dalam sebuah lembaga pendidikan sering kali menjadi pemicu utama konflik sosial dan bahkan tindakan agresi. Anak-anak yang berasal dari latar belakang ekonomi rendah mungkin lebih rentan terhadap pengalaman diskriminasi atau perlakuan tidak adil, yang pada gilirannya dapat memicu perilaku agresif sebagai respons terhadap tekanan dan ketidakadilan yang dirasakan.Selain itu, dari perspektif psikologi terdapat juga peran penting dari faktor-faktor personal dalam mengkaji perilaku kekerasan dan perundungan. Misalnya, beberapa penelitian psikologi telah mengidentifikasi pola-pola perilaku agresif yang berkaitan dengan kekurangan kemampuan pengelolaan emosi atau ketidakmampuan untuk mengungkapkan perasaan dengan cara yang sehat dan produktif. Faktor-faktor personal ini sering kali merupakan produk dari lingkungan keluarga dan sosial yang tidak memberikan dukungan emosional yang memadai atau kurangnya pelatihan dalam mengelola konflik secara konstruktif.
Oleh karena itu, dalam upaya mengurangi kekerasan dan perundungan di lingkungan pendidikan, diperlukan pendekatan yang mengakomodasi kebutuhan psikologis dan emosional dari individu-individu yang terlibat, baik sebagai korban maupun pelaku.
Serta, terdapat pula fenomena yang terkait dengan kekuasaan dan pengaruh sosial di dalam lingkungan pendidikan. Sebagai contoh, penelitian tentang psikologi sosial menunjukkan bahwa adanya struktur hierarki di antara siswa-siswa di sekolah dapat memicu terjadinya perilaku perundungan atau intimidasi. Siswa-siswa yang memiliki posisi yang lebih dominan dalam hierarki sosial seringkali memanfaatkan kekuasaan mereka untuk mengeksploitasi atau merendahkan siswa-siswa yang berada dalam posisi yang lebih rendah.
Hal ini mencerminkan pentingnya pemahaman tentang dinamika kekuasaan dan pengaruh sosial dalam mengatasi permasalahan kekerasan dan perlindungan, serta perlunya pendekatan yang berfokus pada memperkuat kesadaran akan pentingnya keseimbangan dan kesetaraan di antara individu-individu di lingkungan pendidikan. Dengan mempertimbangkan beragam dimensi yang terlibat dalam permasalahan kekerasan dan perundungan di dunia pendidikan Indonesia, perlu adanya kolaborasi yang erat antara berbagai pemangku kepentingan untuk merumuskan dan melaksanakan strategi yang efektif dalam menghadapi permasalahan ini. Diperlukan intervensi yang holistik dan berkelanjutan yang tidak hanya mencakup aspek penegakan hukum dan disiplin, tetapi juga pendekatan preventif yang berfokus pada pembentukan budaya inklusif, toleransi, dan rasa saling menghormati di dalam lingkungan pendidikan. Kesadaran akan pentingnya pendekatan yang komprehensif ini akan menjadi landasan yang kuat dalam upaya menciptakan lingkungan pendidikan yang aman, mendukung, dan mempromosikan pertumbuhan holistik dan kesejahteraan bagi seluruh peserta didik.
Salah satu cara yang efektif dalam mengatasi permasalahan Kekerasan dalam Pendidikan ialah dengan memberdayakan sistem pengawasan di sekolah dan institusi pendidikan. Hal ini mencakup penerapan aturan yang jelas tentang perilaku yang tidak dapat diterima, serta pembentukan tim khusus untuk menangani kasus kekerasan dan menawarkan dukungan psikologis kepada para korban. Selain itu, pendidikan tentang kesetaraan gender, keragaman budaya, serta nilai-nilai toleransi dan penghargaan terhadap perbedaan juga harus menjadi bagian integral dari kurikulum. Di samping itu, penting bagi pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat untuk bekerja sama dalam menciptakan kesadaran akan pentingnya menciptakan lingkungan pendidikan yang aman. Ini bisa dilakukan melalui kampanye publik, pelatihan untuk guru dan staf sekolah, serta melibatkan keluarga dalam pendidikan anak-anak tentang pentingnya menghormati hak-hak orang lain.
Perlindungan juga perlu dimulai dari pendekatan yang preventif, dengan menekankan pada pembentukan karakter yang kuat dan mengajarkan keterampilan sosial yang sehat kepada para siswa. Ini bisa termasuk program-program pengembangan diri, kelas yang mempromosikan komunikasi yang baik, dan kegiatan ekstrakurikuler yang mengajarkan tentang kerjasama tim dan empati. Melalui upaya bersama dan komitmen yang kokoh, kita dapat menciptakan lingkungan pendidikan yang bebas dari kekerasan, di mana setiap individu merasa aman dan dihormati. Dengan demikian, kita tidak hanya membentuk pendidikan yang berkualitas, tetapi juga menghasilkan masyarakat yang lebih sadar dan peduli terhadap hak-hak dan perlindungan sesama.
KESIMPULAN