Surabaya, Jawa Timur. Penampilannya seperti kampung-kampung di perkotaan pada umumnya. Namun, ketika menyusuri gang-gangnya, banyak hal yang istimewa di sana.
Peneleh, nama sebuah kampung di Kecamatan Genteng,Beberapa bangunan dan situs yang sarat nilai sejarah berdiri di antara rumah-rumah penduduk yang saling berhimpitan. Tak heran, jika kemudian Kelurahan Peneleh melalui Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Peneleh Heritage mengembangkan urban tourism dengan konsep walking tour.
Di tulisan pertama ini, menceritakan tentang sebuah kompleks pemakaman Belanda, atau biasa disebut Kerkhof, di Peneleh yang memiliki nama asli: De Begraafplaats Soerabaia. Permakaman Belanda Peneleh dibuka pada tahun 1846 sebagai pengganti permakaman Belanda lama di Krembangan yang mulai terisi penuh dan tidak bisa diperluas karena dikelilingi oleh rawa.
Lokasi tersebut dipilih karena saat itu area sekitar permakaman Belanda Peneleh masih jarang penduduknya (meskipun saat ini kompleks pemakaman seluas kurang lebih 4,5 Ha itu sudah terkepung pemukiman).
Setelah menyusuri Jalan Makam Peneleh, aku dan beberapa rekan dari Pokdarwis Peneleh Heritage sampailah di sebuah pintu gerbang. Terdapat sebuah tulisan di tembok bangunan yang mengapit pintu gerbang: Makam Belanda Peneleh. Begitu memasuki pintu gerbang itu, seketika terlihat bangunan-bangunan dengan berbagai bentuk yang menghiasi makam kuno tersebut. Aku merasa seperti sedang menjelajahi sebuah necropolis, kota kematian. Hiruk pikuk di perkampungan yang mengelilingi kompleks pemakaman itu langsung terasa senyap.
Makam-makam yang berada di sana membujur timur ke barat, dan terbagi menjadi beberapa blok. Pada nisan-nisannya terdapat kode-kode berupa huruf yang menunjukkan jenis penguburannya. Huruf B, menunjukkan bahwa makam tersebut memiliki model ruang bawah tanah sedalam 2 meter yang dilapisi semen (serupa bak di bawah tanah), untuk menguburkan jasad satu orang. Model pemakaman ini disebut juga grafkelder. Tentunya makam dengan model seperti ini untuk para pejabat atau crazy rich di jamannya. Kemudian ada juga makam dengan model serupa grafkelder, namun penggunaannya tidak hanya untuk satu jasad, alias bisa berbagi.
Makam seperti ini disebut huurkelders, dengan kode CB di nisannya. Jenis makam lainnya lagi dengan kode E, disebut aarden graven, alias dikubur langsung di tanah tanpa membuat "bak" di bawah tanah. Beneran, untuk urusan administrasi, Belanda memang jagonya ya!!! Pencatatannya rapi jali.
Namun rupanya, kode-kode ini juga memudahkan para penjarah makam. Tentu saja sasarannya makam-makam para crazy rich tadi! Tak heran jika terdapat lobang-lobang berdiameter kurang lebih 50 cm di beberapa makam yang bernasib malang, karena isinya telah dijarah. Ketika mengintip ke dalamnya, memang bak bawah tanah itu kosong tidak bersisa. Namun ada pula lobang yang diameternya lebih besar, yang kemungkinan disebabkan oleh pemindahan jasad oleh ahli warisnya.
Beberapa makam memiliki bangunan dengan hiasan indah. Tentu saja karena banyak tuan dan puan yang berprofesi sebagai pejabat maupun pengusaha Belanda yang dimakamkan di sana. Mulai dari penginjil di Surabaya Johannes Emde, Pastor Martinus van der Elzen, Residen Pierre Jean Baptiste de Perez (yang juga pernah menjabat sebagai Gubernur Sulawesi), Gubernur Jendral Pieter Merkus yang makamnya dikelilingi pagar bergaya gothic, pakar bahasa nusantara dan penyusun kamus Herman Neubronner van der Tuuk, pendiri pabrik baja pertama di Surabaya FJH Bayer Ridder, dan makam biarawati dari Ordo Ursulin.
Sesuatu yang unik aku amati di nisan-nisan makam ini, karena jejak-jejak freemason hadir pula di makam ini, berupa lambang-lambang yang akrab dengan organisasi itu. Freemason adalah organisasi tertutup dan dinyatakan terlarang pada masa itu, berisi kumpulan orang-orang yang merdeka dalam berpikir. Konon, Raden Saleh adalah salah satu anggota organisasi ini.