Siang itu,  teman satu bidang masuk ke ruang kerja  dengan menenteng seplastik buah dengan kulit berwarna kuning. Setelah itu, ramai-ramai beberapa teman turut menikmati buah berbentuk bulat seperti duku tadi. Aku yang tadinya masih disibukkan dengan pekerjaan, akhirnya ikut pula bergabung menikmati buah bernama kepundung, yang dulu sering  Aku dapati di halaman rumah teman sekolah SD-ku.  Meskipun rasanya kecut, tapi enak juga. Rupanya buah itu dijajakan oleh pedagang tape dari Sukolilo, sebuah desa di Kabupaten Pati yang bagi warganya aksesnya lebih mudah menuju Kudus daripada ketika mereka harus menuju Kota Pati. Pedagang itu menggelar dagangannya di trotoar depan kantorku.
Dan buah itu dulu cukup akrab dengan masa kecilku. Selain kepundhung, Bapak sering menyebutnya "kokosan". Atau bagi orang Jakarta, buah itu punya nama "menteng". Ada dua varian buah kepundhung. Warna daging buahnya ada yang putih keruh seperti duku, namun ada pula yang berwarna merah. Yang berwarna merah ini secara penampilan memang lebih menggoda, dan rasanya tidak se-masam yang berwarna putih keruh.
Cara makannya? Meskipun bentuknya seperti duku, tapi cara menikmati kepundhung ini agak berbeda. Setelah dipetik dari tangkai buahnya, lalu pecahkan sedikit kulitnya di dekat tempat melekatnya buah dengan tangkai buah tadi. Setelah itu, pencet ujung buah dan hisap di pangkalnya. Bila daging buahnya sudah keluar, langsung saja masukkan ke mulut. Seketika rasa asam segar akan menyergap lidah! Oh,iya... kulit buah kepundhung ini memang agak ulet. Jadi ketika buahnya dipencet, gak bakal hancur berantakan.
Bagi generasi 80-90an, tentu buah bernama ilmiah Baccaurea racemosa ini cukup familier. Dulu tanamannya bisa ditemui di kebon di desaku. Tapi sekarang, sepertinya hampir tidak ada tanah di Kudus yang ditumbuhi pohon ini. Untunglah, pedagang tape dari Sukolilo itu sukses membawa nostalgia...
Dan, beberapa hari kemudian ketika sedang berada di Desa Wisata Wonosoco, seorang teman membawa seikat buah  kepundhung. Tapi kali ini yang dibawanya berbeda dengan kepundhung kemarin, karena warna dagingnya merah. Ah, lengkaplah memoriku tentang buah ini, bahwa selain berdaging warna putih susu, juga ada yang berwarna merah, dengan level keasaman yang lebih rendah.
Demi meneruskan kenangan kepada anak-anakku tentang  buah lokal yang sudah jarang ditemui di Kudus, Akupun menanam bijinya di kebun. Semoga besok mereka dapat bersuka cita memanjat pohonnya, bertengger di dahannya sambil menikmati segarnya buah kepundung ini...
Sambil menikmati kepundhung, aku lalu mengenang- ngenang buah-buahan yang akrab dengan masa kecilku dulu...
Buah kersen alias talok; buah ini sih masih banyak ditemui sampai hari ini. Dari level manis, dia termasuk buah yang tanpa memiliki rasa asam. Aku dulu sering memanjat pohon kersen di Komplek Kuburan Mbah Nyamplung yang banyak ditumbuhi kersen, sambil mengagumi beberapa nisan yang bentuknya cukup "wah", karena di sana adalah tempat pemakaman kerabat Dongkol Sumber, seorang "crazy rich" pada masanya.
Selanjutnya adalah Buah ceplukan; tanaman perdu ini juga agak manis rasanya, dan masih bisa dijumpai di tepi pematang sawah. Bahkan, di beberapa artikel, aku pernah baca kalau buah ini naik kelas, dikemas apik dan dipasarkan di supermarket dengan julukan golden berries. Dulu, kalau Mbah Buyut pulang dari sawah, Aku sering mendapat 'oleh-oleh' buah ini, sewadah full toples sabun colek B-29!
Kalau buah wuni alias buni, adalah buah yang susunan buahnya  mirip merica tapi ukurannya lebih besar. Konon, buah ini berasal dari gigi orang-orang yang sudah meninggal (hoax jaduuullll...). Level masamnya lumayan juga, dan kalau tidak sabar makannya, mending dibebeg dibikin rujak saja. Rasanya bakal bikin ngileerrrr...
Buah Klayu; buahnya yang tua berwarna merah. Tapi meskipun sudah berwarna merah-merah, jangan harap akan mendapati rasa manis maksimal, karena di level kematangan itu, rasa sepat masih terasa. Cita rasa terbaiknya mucul ketika warna buah sudah mulai agak-agak merah hitam. Meskipun buah ini sudah sangat langka, tapi masih ada pohonnya di kebon belakang rumah.
Kenitu, alias sawo bludru, buahnya maniiiisss... tapi meskipun manis, di beberapa literature menyebutkan buah ini berkhasiat mengendalikan gula darah lho... dan, jangan iri ya, kalau lagi-lagi kutulis bahwa pohon ini juga eksis di kebon belakang rumah, meskipun belum berbuah. Tapi kemarin ketika menengok ke dahannya, Aku melihat beberapa rantingnya sudah berbunga. Yeeaayyy!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H