Sinar rembulan mulai redup. Berganti sinar-sinar yang lain. Tanda hari tlah berganti. Nyanyian jangkrik mulai fales. Burung gereja ganti bersahut-sahutan. Aku masih sadar di alam sana. Masih sangat nyaman di alam sana. Aku terkejut, ada suara grek-grek semakin keras. Alhamdulilah, aku masih diberi kesempatan melihat dunia ini kembali dengan suasana yang mungkin sebentar lagi akan berubah.
Aku sudah kinclong, apalagi saat lihat sinar sang surya. Terlihat dari jauh seperti cling-cling! Kunaiki sepeda tua, perlahan tapi pasti, kusampai di tempat ini. Assalamualaikum pengalaman baruku!
....
Wow! Tak hanya aku yang kinclong!
Antara satu dan yang lain saling bersahut-sahutan seperti burung gereja. Seperti tak ada yang mau mengalah. Mereka ayu-ayu, ganteng-ganteng, tak seperti aku dan dia. Aku hanya seorang yang tak dikaruniai tampang seperti mereka, dia juga bisa dibilang seperti itu. Tapi mungkin mereka tak dikaruniai suatu hal yang kita miliki.
Apa itu?
Aku malu untuk mengatakannya sekarang. Ku ingin coba membacanya dulu, apakah benar ini yang kita miliki. Tapi aku tak ingin mereka mengetahui ini, mungkin ini hal yang tak patut di tiru.
Sesungguhnya gerak-gerik ini sudah tercium lama oleh mereka, tapi bagi mereka yang mungkin agak sok tau. Nah, karena itulah justru membuat semua keadaan menjadi tak karuan, semrawut, pikiran kemana-mana, bingung, stress. . .tapi ya jangan sampai gila. Itu pinter-pinternya kita menghadapi keadaan seperti ini. Jadi, aku masih terus membaca dan memahami, agar ketemulah kalimat utama pada cerita ini.
Hampir sepanjang perjalanan ini, tak lepas 1 cm pun dari bayangannya. Nafaspun seperti menyatu dan bau keringatpun seperti bau yang di oplos antara wangi dan tak sedap. Itulah keanehan yang terjadi dalam perjalanan ini.
Tak pandang dimana kaki ini dipijakkan, bayangan itu selalu menyatu. Saat panas sama-sama kena panas, saat ada angin sama-sama kena angin pula. Perjalanan ini serasa milik pribadi. Tak ada kawan, tak ada musuh, tapi nyatanya ada di sekeliling kami dan tanpa kami sadari itu.
Semakin jauh perjalanan ini, semakin terasa ini seperti tersesat di dalam hutan yang sangat lebat.
Aku bingung. Aku tak mengerti apa yang sesungguhnya terjadi. Tolong aku.
Tanpa disadari, nafasnya selalu terdengar di telinga kananku tanpa keluar lagi di telinga kiri. Terus terjadi dan terus terjadi hingga ku tinggalkan jejak-jejak terakhirku di tempat ini. Semakin dingin suhu di tempat ini, tapi semakin hangat pula nafasnya yang mengenai bulu-bulu halus di badan ini. Merinding. . .
Aku tak berani berkata apapun selama perjalanan ini, hingga sampailah kaki ini di tanah yang berbeda dari sebelumnya. Mulut ini masih tak sanggup untuk berkata tentang keadaan ini, ku hanya sanggup untuk membaca dan masih berusaha mencari inti dari perjalanan ini.
Hingga pada suatu saat, hal-hal yang dipersatukan itu pisah secara perlahan. Dan apa yang terjadi?!
Suasana berubah menjadi seperti kuburan saat bulan puasa. Sepi, sunyi, hampa, garing, kosong, ingin secepat mungkin melihat bayangan itu kembali.
Tapi sayang, waktu berjalan begitu lama, lamaaaaa sekali. Kesabaran ini tlah habis.
Tak terasa terlihat bayangan itu yang semakin gelap, yang semakin tajam telihat di mata ini. Lanjutlah perjalanan ini, suasana tlah baru kembali, suasana lama tlah hilang oleh pancaran bening dari paras kami semua. Senyum lebar semakin terlihat dari bibir kami, terutama bibir ini, yang tak henti-hentinya melebarkan jangkauannya. Perlahan ku menatap kembali kegelapan itu. Diam-diam ku curi tatapan itu. Astaga!
(Sejak saat itu, terasa sesuatu yang sangat hebat menghujam jantung ini, sesak sekali nafas ini.)
Sampailah di suatu lokasi yang telah basah kuyub setelah di guyur hujan. Kembali ku pijakkan kaki ini masih dengan bayangan itu. Melangkahlah kaki ini bersama-sama, hingga terlecut suatu pikiran liar, tak ingin rasanya berpisah dari bayangan ini, ku nyaman, ku bahagia. Pikiran ini semakin tak terkendali, semakin tak bisa di arahkan.
Tiba-tiba turunlah kembali hujan yang tadi, tanpa pemberitahuan sebelumnya. Ku posisikan tubuh ini untuk melindungi bayangan itu dari terpaan air yang begitu kencang. Bersamaan dengan itu, semakin kencang jantung ini memompa, semakin cepat laju nadi di tangan ini, semakin ringan tubuh ini untuk selalu bersama bayangan ini.
Terucap satu kalimat dari mulutnya, "Terimakasih tlah melindungiku."
Deg deg ...................................................................................................................................
Suasana hening dalam sekejap, hanya terdengar suara degub jantung.
Semakin liar saja keadaan ini, tak terkendali, wow!
Ku coba selalu untuk memimpin keadaan ini. Selesailah tugas tubuh ini. Keadaan mengendor lagi seperti semula. Tapi deg deg .............................................................................................. masih sangat terasa.
Hingga pada saatnya, waktu yang harus merubah keadaan ini. Tak tersisa waktu lama, bayangan itu akan terpisah dari tubuh ini. Perasaan berkecamuk saat itu juga terasa, tak ingin rasanya melepaskan bayangan itu, tak ingin berpisah dari bayangan itu, tak ingin perjalanan ini berakhir seperti ini.
Bingung merasuki pikiran ini. Pikiran jadi kosong seketika itu.
"Aku ingin tetap seperti ini", dalam hati aku berkata.
Dan tiba waktunya, bayangan itu dipisahkan dari perjalanan ini. Perasaan ini semakin berkecamuk. Apa yang sebenarnya terjadi?! Mengapa ini terjadi padaku?! Kenapa berakhir seperti ini?!
Sampai sekarang pun ku tak tahu, apa yang sebenarnya terjadi antara tubuh ini dengan bayangan itu.
Dan hingga saat ini masih menjadi tanda tanya besar dalam kehidupanku yang semakin bimbang dengan perjalanan lalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H