Ada ratusan hingga ribuan orang yang menghadiri seminar optimalisasi otak kanan, pengembangan diri, percepatan bisnis, dan semacamnya. Namun apakah menjamin, begitu keluar dari ruang seminar, semuanya akan langsung resign dari pekerjaannya sebagai karyawan lalu buka lapak dan memulai usaha? Bukan salah motivatornya jika tak semuanya berhasil. Isi kepala sekaligus mindset tiap orang berbeda bukan?
Saya mengikuti seminar MLM dalam berbagai pose, seminar kepribadian, dan semacamnya selama bertahun-tahun, dengan tujuan menjadi lebih baik. Bahkan seorang teman yang hobinya sama sering mengajak saya ke seminar serupa. Dia bahkan pernah menghadiri seminar di Singapore dengan tiket senilai 12 juta rupiah. Nilai yang cukup besar untuk ukuran kantong anak kuliah, waktu itu.
Dia bilang, "Jika kamu mau dan berusaha, apapun bisa kamu raih,"
Si teman saya itu tadi, sekarang sudah punya bisnis restoran dan sibuk nyambi sebagai PNS. Saya masih diuji dengan berbagai kegagalan memulai usaha, dan sekarang sibuk menjadi ibu dengan dua balita, yang lebih saya prioritaskan saat ini.
Jadi?
Bisa jadi ada sebuah mindset yang letaknya di alam bawah sadar saya, yang membuat saya tak segera melangkah maju seperti para peserta training motivasi lain. Mungkin juga karena saya belum sempat mengikuti seminarnya Cipto Djunaedi yang bisa beli rumah tanpa modal, atau Ippho Santosa, atau tidak mampu bersedekah besar-besaran ala Saptuari dan ustad Yusuf Mansyur. Belum nemu yang pas ato malah terlalu banyak alasan untuk tidak segera bergerak? Well...
Tiap orang butuh siraman rohani, apapun bentuknya. Namanya juga siraman, seperti mandi, ya harus dilakukan  secara rutin untuk mendapat hasil yang maksimal. Mandi sekali, lalu beraktivitas, menghasilkan keringat dan kusam karena debu, jadi harus mandi lagi. Beberapa orang tertentu membutuhkan siraman rohani dengan cara membaca dan mendengarkan kalimat yang sejuk dan menenangkan jiwa, ada pula yang membutuhkan dalam bentuk peringatan keras, melihat film, mendengarkan dialog orang lain, dan banyak lagi lainnya. Sekali lagi, itu perkara mindset. Pola spiritual apa yang sekiranya nyambung dengan pola pikir anda.
Jadi mengikuti motivator bukan karena depresi, tapi itu sebuah pilihan penenangan jiwa yang kebetulan tak dipilih oleh orang yang sama. Kita ini makhluk social, yang perkembangan daya pikirnya juga ditentukan oleh interaksi dengan orang laen. Sedikit banyak pola pikir kita akan dipengaruhi oleh dengan siapa kita bergaul.
Semua orang pasti punya cara tersendiri memotivasi dirinya. Ada yang blak-blakan dengan mengikuti status dan tweet tertentu. Tak kurang juga yang tak mengakuinya dengan mengatakan bahwa dia tak membutuhkan motivasi apapun, tapi ternyata selalu menurut dengan apapun yang dinasihatkan orang tua, teman dekat, atau mungkin saudaranya. Tak kurang juga yang menyepelekan para motivator dan menuduh mereka sok tahu soal hidup.
Judge a book by its cover or how?
Kalo buat saya sih, yang penting yang disampaikan itu sesuai dengan kebaikan, bisa dimengerti, dan sesuai dengan apa yang perlu saya jalani. Tidak mau menerima masukan dari orang lain, karena merasa sudah ok, itulah arogansi dan kebebalan yang mesti diperbaiki. Dunia, pengetahuan, dan pola hubungan terus berkembang. Jika kita terus terikat pada pola lama dan say NO to any suggestion, ya lama-lama kita bisa jadi makhluk purba di jaman yang serba canggih ini.