Mohon tunggu...
Retno Esthi Utami
Retno Esthi Utami Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pemerhati masyarakat

Masih belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Indonesia Darurat Perceraian, Ketahanan Keluarga Dipertaruhkan

1 Oktober 2016   14:17 Diperbarui: 2 Oktober 2016   03:21 708
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Angka perceraian di Indonesia menunjukkan grafik yang terus melesat tajam, terutama pada tahun 2016 hampir di seluruh kota di Indonesia. Ada berbagai ragam alasan dalam pengajuan perceraian ini, mulai dari tekanan ekonomi, tuduhan KDRT yang dilakukan oleh pihak suami, atau tidak bertanggung jawabnya suami serta ketidakharmonisan keluarga.

Hal menarik lainnya adalah mayoritas pengajuan perceraian ini dilaksanakan oleh pihak istri. Mulai dari data di Aceh, 83 persen perceraian adalah gugatan dari istri. Tidak jauh berbeda dengan Aceh, di Muara Enim pada triwulan pertama 2016, total perkara yang masuk di Pengadilan Agama yakni 338, gugatan cerai diajukan istri 295 dan gugatan oleh suami 43 permohonan. Permasalahan yang sama juga terjadi di Kalimantan Timur serta Jawa Timur.

Di Jawa Timur sendiri, Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa menyatakan, Propinsi Jawa Timur merupakan penyumbang terbesar angka perceraian di Indonesia, yakni mencapai 47%. “dalam beberapa tahun terakhir ini angka perceraian di Indonesia melonjak drastis dan Jatim merupakan penyumbang terbesar dalam kasus perceraian di tanah air. Bahkan, mencapai 47% atau hampir separuh kasus perceraian di Indonesia ada di Jatim,” kata Khofifah usai menggelar konferensi pers terkait Hari Lahir (Harlah) ke-70 Muslimat NU di Malang, Minggu (20/3/2016) seperti dikutip Antara. Khofifah mengatakan, penyebab perceraian salah satunya adalah masalah ekonomi (kesejahteraan).

Permasalahan ekonomi telah memaksa para perempuan keluar rumah dan berjuang melawan kerasnya dunia kerja demi mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf perekonomian keluarga. Namun, apakah masalah ekonomi bisa teratasi ketika para ibu masuk ke dunia kerja? Alih-alih teratasi, justru muncul permasalahan sosial yang lain. Diantaranya:

1. Bergesernya peran perempuan dalam keluarga sebagai ibu dan pengatur rumah tangga, karena banyak ibu yang harus kehilangan waktunya untuk bekerja.

2. Berkurangnya kepatuhan kepada suami dikarenakan penghasilan suami lebih rendah daripada penghasilan istri


3. Masalah pengangguran akan tetap ada dikarenakan perusahaan cenderung untuk memperkerjakan buruh wanita

4. Memicu keretakan dalam rumah tangga. Para ibu merasa bisa hidup mandiri dengan berpenghasilan sendiri,  juga kemandirian dalam pengambilan keputusan, dalam hal ini adalah keputusan bercerai.

Tingginya angka perceraian, tentu berdampak langsung kepada anak-anak dari pasangan yang bercerai. Anak-anak Indonesia saat ini menghadapi cukup banyak permasalahan, mulai yang berawal dari permasalahan keluarga yang broken home, penyalahgunaan narkotika, kekerasaan seksual oleh orang-orang terdekat, hingga kenakalan remaja yang saat ini cukup mengkuatirkan yang berujung pada kematian. Indonesia tidak hanya negara DARURAT NARKOTIKA, ZINA dan KENAKALAN REMAJA tetapi juga DARURAT PERCERAIAN.

Untuk memperkecil angka perceraian, Wakil Menteri Agama Prof Dr Nasaruddin Umar menyatakan salah satu cara yang dilakukan pemerintah adalah memberikan kursus pra nikah bagi calon pengantin. “Sekarang sifatnya masih sukarela, tetapi ada rencana untuk diregulasi. Nantinya calon pengantin baru bisa menikah setelah mendapat sertifikat kursus pra nikah,” katanya dalam acara penataran penyuluh pra nikah Muslimat NU DKI Jakarta di asrama haji Pondok Gede, Senin (5/12). Namun, cukupkah dengan memberikan kursus pra-nikah maka pasangan akan siap menjalani kehidupan pernikahan?

Mengamati permasalahan perceraian ini, terlihat bahwa faktor utama munculnya adalah sekulerisme, atau pemisahan agama dari kehidupan yang menjadi asas bagi sistem kapitalisme yang  dianut di negara ini. Kapitalisme menjadikan capital atau materi sebagai asas utama dalam kehidupan, termasuk dalam pernikahan. Sehingga wajar bila tujuan pernikahan hanya untuk mengejar materi ataupun hanya untuk mempertahankan hidup. Kapitalisme menjadikan kebahagiaan sebuah keluarga diukur dari sisi kepemilikan atau apa yang mereka miliki. Hal ini akan menyebabkan budaya konsumerisme, foya foya, dan suka akan kemewahan.

Pernikahan yang seharusnya diniatkan untuk ibadah, tidak lagi sesuai tujuan awal. Karena memang tidak didasarkan kepada agama. Di dalam agama telah diajarkan mengenai hak dan tanggung jawab dari masing masing individu. Suami bertugas untuk mencari nafkah sementara istri bertugas sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Dengan dipahaminya hak dan tanggung jawab ini, serta diniatkan sebagai ibadah kepada Allah swt, akan membuat pondasi pernikahan yang kokoh. Selain dari pihak keluarga, NEGARA juga memiliki andil dalam penyelenggaraan pemenuhan kebutuhan dan pengaturan urusan ummat. Merupakan tanggung jawab negara untuk memberikan lapangan pekerjaan yang layak bagi kaum laki-laki (suami), sehingga para ibu akan dapat bertugas sebagaimana mestinya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Selain itu, negara menyelenggarakan sistem ekonomi, pendidikan, sosial serta kontrol terhadap media sesuai dengan syariat Islam.

Akan tetapi, penataan yang sempurna oleh agama ini telah dirusak oleh penerapan Kapitalisme-sekuler dengan adanya ide kesetaraan gender yang sarat akan pembebasan tugas dan tanggung jawab utama pada perempuan. Disamping ide kesetaraan gender, media juga memberikan andil yang cukup besar dalam merusak generasi dan keluarga muslim, media yang secara gencar menampilkan serta mempromosikan budaya yang meniru barat dengan segala kebebasannya tanpa adanya kontrol dari Negara. Selain itu, penerapan sistem ekonomi kapitalis liberal telah membatasi negara ikut campur tangan, sehingga peran negara di kebiri dalam mengurusi rakyatnya. Segala sesuatu harus bergantung pada mekanisme pasar dan pemilik modal, negara hanya berfungsi sebagai regulator.

Dengan demikian, jika menginginkan solusi total bagi permasalahan Indonesia Darurat Perceraian, serta Darurat darurat lainnya, tidak lain tidak bukan, Indonesia harus kembali kepada Islam. Dimana kesempurnaan Islam sudah menjadi janji Allah dalam QS Al Maidah ayat 3, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun