Mohon tunggu...
Ester Sinaga
Ester Sinaga Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Penangguhan Ahok dan Pengumpulan 1 Juta KTP "Teman Ahok"

12 Mei 2017   08:49 Diperbarui: 12 Mei 2017   10:01 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pagi para pembaca yang budiman, semoga tulisan amburadul Ester ini bermanfaat. Horas!

Sepertinya Ester melihat cara-cara yang sama yang digunakan sebelumnya untuk menciptakan legitimasi moral dan politik atas tujuan tertentu. Sebelumnya, aksi pengumpulan KTP digunakan Ahok maju sebagai calon independen, walaupun akhirnya publik terlena bahwa pengumpulan 1 juta KTP ini hanya siasat tipudaya untuk menaikkan "harga" seorang Ahok didalam pilkada di Jakarta. Setelah satu-dua partai memutuskan terbuka untuk mendukungnya, maka hanya tinggal menunggu waktu partai besar (Merah) akan menjatuhkan pilihannya dan melupakan egonya untuk menjadikan calon Gubernur dari kadernya sendiri. Siasat tipudaya 1 juta KTP dan "sihir" branding dari media massa yang menjadi alat kelompok ini semakin menguatkan popularitas dan elektabilitas seorang Ahok. Tokoh ini tidak ada lawannya. Angkuh!

Setelah keputusan Hakim memutuskan Ahok bersalah dan saat itu juga harus ditahan, kelompok ini tersentak kaget dan tidak mampu meresponnya dengan bijak. Pengiriman simpatisan guna menciptakan situasi untuk mendapatkan kesempatan-kesempatan dilakukan. Tujuannya untuk melihat sejauh mana situasi ini akan menguntungkan, sambil melihat keuntungan-keuntungan yang akan didapatkan.

Dilapangan, aksi treatikal menunjukkan keganjilan dan membuka topeng-topeng instrumen negara yang sudah berada dalam kendali kelompok ini. Lewatnya jam batasan untuk melakukan demonstrasi, orang-orang yang berebut nasi bungkus, dan seorang orator yang harus diinterupsi karena menyerang rezim penguasa saat ini, menunjukkan para pemain-pemain dilapangan ini seorang amatiran. Mempertontonkan tindakan radikal dan pelanggaran terhadap aturan pembatasan demo.

Instrumen negara yang seharusnya taat terhadap azas hukum kehilangan konsistensinya dengan alasan-alasannya yang tidak masuk akal, seperti "para aksi demo kebanyakan kaum perempuan" dan sebagainya.

Kini kita kembali kepada topik utama, yaitu KTP. Sutradara dan para aktor memainkan telenopolitik dengan mengirimkan ibu-ibu dan anak-anak dengan nada koor yang sama, yaitu penangguhan atau tahanan kota bagi Ahok. Mereka mengikuti script naskah yang diberikan oleh sutradanya, dan mengucapkannya dengan segala improvisasinya. Seharusnya mereka yang berbicara mengatakan pengadilan tersebut hasil rekayasa dan sebagainya dapat dituntut telah melakukan penghinaan terhadap pengadilan. Mengapa mereka yang mengatakan tersebut tidak ditangkap?

Disinilah rahasianya baju kotak-kotak tersebut. Baju ini bukan baju sembarangan. Kata Eyang Gledek yang Ester dengar, baju ini sudah direndam oleh darah 1 juta kecebong yang dibacakan mantra-mantra khusus. Ilmu hitam yang berasal dari kegelapan. Keampuhan dari baju ini tentu membuat instrumen negara tidak melihatnya sebagai sebuah pelanggaran hukum.

Lalu apa hubungannya antara telenopolitik dan pengumpulan KTP? Tujuannya antara lain untuk menciptakan sebuah dramatisasi kasus Ahok setelah upaya 1 juta karangan bunga dan 5 juta balon merah putih dibalaikota tidak membuahkan hasil. Kelompok ini sedang menciptakan drama yang bertujuan untuk mengambil keuntungan-keuntungan pilihan politik kedepan. Apakah nanti akan tercipta kondisi dimana akan terbentuk lebih banyak lagi para pecinta Ahok, mendorong upaya intervensi dari semua kalangan dan asing untuk melakukan intervensi secara terselubung atas langkah politik Ahok dalam mengajukan banding.

Yang Ester heran, bukankah sebelumnya pernah dilakukan pengumpulan KTP oleh mereka yang mengaku teman Ahok? Klaim teman ahok yang berhasil mengumpulkan 1 juta KTP sesungguhnya memudahkan mereka untuk mengulang dengan strategi yang sama. Tetapi sampai hari ini, Ester hanya mendengar hasil pengumpulan KTP ini masih tergolong rendah.

Apa mungkin nanti akan ada lagi stan di mall-mall untuk merayu orang-orang untuk memberikan KTPnya dengan tujuan Ahok bebas? Atau memang pengumpulan KTP ini bertujuan ekonomis semata? Seperti isu-isu mengenai teman ahok kemarin yang dianggap menerima sesuatu. Atau pengumpulan KTP ini bertujuan untuk memberikan tekanan kepada Hakim Banding untuk memutuskan Ahok bersalah. Karena kelompok ini berhasil mengumpulkan puluhan juta KTP yang setuju Ahok dibebaskan. Luarbiasa kalau kelompok ini berhasil mengumpulkan puluhan juta KTP. Sebagaimana heboh kiriman karangan bunga dibalai kota yang sampai jut-jutan. Orangnya tidak kelihatan, tapi karangan bunganya terlihat.

Kembali lagi ke KTP, Ester heran mengapa kelompok ini selalu berfikir bahwa legitimasi moral dan politik dapat digambarkan dengan keberhasilan mengumpulkan KTP. Sedangkan kelompok ini bisa dikatakan hanya menjadikan pengumpulan KTP sebagai alat kepentingan pragmatis semata. Apakah nanti kelompok ini kembali merekayasa jumlahnya? Atau kembali lagi menghianati hasilnya, karena tidak lagi dipakai?

Ester melihat kelompok ini seringkali memainkan simbol-simbol dan kemudian menghianatinya. Setelah pengumpulan KTP, mungkin kelompok ini akan mengulang kembali drama pengiriman jutaan karangan bunga dan balon merah putih. Ester melihat kelompok ini bukan saja tidak kreatif, tapi juga mengedepankan emosionalisasi ala telenovela meksiko. Sungguh kelompok ini sutradaranya bekas pemain sinetron. Doyannya bermain telenopolitik, membosankan dan mempertontonkan kadar intelektual yang rendah.

Pagi ini, Ester masih mengantuk ... hoaaam. Oiya, Ester hanya beropini saja, mungkin banyak salahnya ... seperti salahnya para pecinta Ahok yang tidak taat aturan, hari besar keagamaan kok masih demo, mereka mengaku Pancasilais dan taat hukum, tapi lupa dengan aturan yang melarang demo di hari besar keagamaan. Mama Ester pun geleng-geleng kepala, mereka sungguh tidak menghormati hukum itu sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun