Layar handphone yang menunjukkan berbagai informasi ataupun trend terbaru dari beberapa aplikasi media sosial telah menghipnotis banyak orang di dunia saat ini, termasuk saya. Rutinitas kehidupan yang dahulunya diisi dengan aktivitas fisik, perbincangan dengan rekan sekitar, kini berubah menjadi rutinitas jari tangan yang melemahkan bagian tubuh lainnya. Perubahan rutinitas itu mulai terasa saat Covid-19 melanda. Keadaan yang mengharuskan kita mengurung diri dari aktivitas luar ini menimbulkan rasa bosan dan lonely yang sulit terobati.Â
Beruntungnya, tak lama setelah munculnya berita akan pandemi COVID-19 tersebut, berbagai aplikasi media sosial hadir sebagai penghubung kita dengan dunia luar dan menemani kesendirian kita agar tidak bosan. Salah satu media sosial tersebut adalah TikTok. TikTok yang mulai dikenal masyarakat Indonesia tahun 2018 ini, melejit pesat eksistensinya saat COVID-19 dan menjadi top 5 most used social media platforms sejak tahun 2022 hingga sekarang (berdasarkan data We Are Social). Laporan perusahaan aplikasi dan jaringan Kanada, Sandvine menyatakan bahwa Tiktok menjadi media sosial yang menyumbang downstream traffic internet terbesar pada 2022, yakni sekitar 3,93% .Â
Pandemi yang melanda Indonesia selama 2 tahun itu tak hanya mengisolasi kita dalam keheningan dan kehampaan, tetapi juga menjadikan kota-kota yang biasanya berdebar dengan aktivitas seperti Jakarta, meredup menjadi puing-puing kesepian. Toko-toko seperti tanah abang dan pasar senen yang dulu riuh suara-suara penjual dan pembeli yang sedang bernegosiasi, kini sunyi tak bersuara.Â
Di tengah kekacauan dan keheningan itu, belanja online muncul sebagai penyelamat banyak orang. Aplikasi belanja seperti Shopee, Lazada, dan Tokopedia yang awalnya diragukan kebenaran dan tanggung jawabnya, kini menjelma sebagai bagian penting dari kehidupan sehari-hari kita.Â
Di tengah berbagai platform online shopping tersebut hadir menemani masyarakat dan meningkatnya jumlah pengguna TikTok di tahun 2021, TikTok Shop menarik jutaan mata penggunanya dengan ikon keranjang kuning yang disematkan bersama dengan beberapa video konten kreator.Â
Pengalaman berbelanja yang penuh hiburan dan kegembiraan dari aplikasi TikTok Shop juga menjadi batu loncatannya kalahkan para pendahulunya, seperti Shoppe, Lazada dan Tokopedia. Aplikasi dengan video pendek yang penuh warna dan beragam ini menjadi panggung mewah berbagai barang dan produk yang diperkenalkan dengan gaya flamboyan.Â
Layar handphone yang menyala saat mendapatkan notifikasi penawaran dan diskon menggiurkan dari TikTok menjadi magnet tak tertahan bagi banyak orang, termasuk saya. Setiap hari jari-jari indah saya mendapatkan latihan fisik tanpa henti ditemani dengan lamunan diri di antara video dance, video lucu, dan promosi produk yang tampaknya menjanjikan keajaiban.
Wanita cantik berwajah mulus dan berbadan langsing yang memberikan tips & trik  mendominasi layar handphone saya selama memainkan aplikasi TikTok ini. Setiap rangkaian tips & trick yang disampaikan berhasil menggerakkan jemari saya mencari berbagai produk yang disampaikan dan disematkan pada keranjang kuningnya. Satu hal yang paling sering saya cari saat menghabiskan waktu scrolling TikTok adalah produk-produk pelangsing yang menjanjikan tubuh ideal dalam waktu singkat.Â
Tergiur oleh testimoni-testimoni influencer yang menampilkan before & after body goals mereka, membuat  saya tak mau kalah dan memaksa diri untuk mencoba produk-produk tersebut. Minuman pelangsing terus menerus melintas pada layar handphone hingga membuat jemari saya menekan keranjang kuning yang ada.Â
Takut tertinggal dari yang lain atau lebih dikenal sebagai FOMO (Fear Of Missing Out) menjadi alasan keranjang kuning saya membludak dan mengeringkan kantong keuangan  saya. Berharap mimpi menjadi langsing dapat tercapai, apa yang semula terlihat seperti jalan menuju body goals idaman  malah berujung pada bencana pribadi.Â
Alih-alih badan langsing dan mulus, saya menemukan pantulan diri di cermin kotak rumah dengan wajah yang pucat dan tubuh yang lemas. Apa yang saya kira akan menjadi kenyataan mimpi yang indah, ternyata berakhir sebagai mimpi buruk. Tubuh yang lemas dan kantong keuangan yang kering membuat diri ini semakin tak berdaya melangkah.Â
Pengalaman ini membuat saya tersadar bahwa FOMO, atau takut ketinggalan, menjadi rantai berbahaya yang akan semakin mengikat kita dalam pola pikir yang salah jika tak kunjung dilepaskan. TikTok dan media sosial menghubungkan kita dengan dunia luar dan menawarkan dunia yang penuh keajaiban. Tetapi kita harus hati-hati dan pintar memilah apa yang dibutuhkan apa yang tidak agar tidak terjebak dalam tawaran yang tidak sesuai dengan kebutuhan. Meskipun influencer terlihat meyakinkan, produk yang direkomendasikan mampu mencapai mimpi body goals mereka, belum tentu cocok untuk kita. Penawaran diskon dan promosi menjadi hal yang menggoda dan tak boleh terlewatkan oleh kebanyakan orang, termasuk saya. Namun, pengalaman buruk tersebut menyadarkan saya akan pentingnya melakukan riset dan berpikir kritis saat hendak membeli sesuatu.
Ketika paragraf demi paragraf ini tercipta, saya sudah lebih berhati-hati dalam memilih dan memeriksa produk sebelum memutuskan untuk membeli. Ketika kembali melihat ke belakang, saya juga menyadari bahwa FOMO tidak selalu berakhir buruk. FOMO dapat berakhir baik jika diatasi dengan pendekatan yang tepat. Kita bisa mengubah tantangan berupa FOMO ini menjadi kesempatan untuk belajar dan berkembang. Jadi, meskipun TikTok Shop dan media sosial bisa menjadi rantai yang mengikat, mereka juga menawarkan pelajaran berharga jika kita tahu cara menghadapinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H