Mohon tunggu...
Dina Esterina
Dina Esterina Mohon Tunggu... Lainnya - Pendeta di Gereja Kristen Pasundan. Podcaster dan blogger. Senang nulis dan baca.

Tertarik menyororot dan menautkan makna hidup sebagai seorang yang spiritual dengan berbagai fenomena yang ada di masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Makna dan Panggilan Kependetaan di Era Milenial: Sikap Otentik dan Menjadi Kolaborator

7 Februari 2024   15:40 Diperbarui: 7 Februari 2024   15:46 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Manusia adalah roh. Tapi apakah roh itu? Roh adalah diri. Namun apakah diri itu? Diri adalah suatu relasi yang menghubungkan dirinya dengan dirinya sendiri atau merupakan relasi yang menghubungkan dirinya dengan dirinya sendiri dalam relasi tersebut; diri bukanlah relasi, melainkan relasi yang menghubungkan dirinya dengan dirinya sendiri. Manusia adalah sintesis dari yang tak terbatas dan terbatas, dari yang sementara dan yang kekal, dari kebebasan dan kebutuhan, singkatnya, sebuah sintesis. Sintesis adalah hubungan antara dua hal. Dilihat dengan cara ini manusia masih belum menjadi diri.... Dalam relasi antara dua, relasi adalah yang ketiga sebagai satu kesatuan negatif, dan keduanya berhubungan dengan relasi dan dalam relasi dengan relasi; dengan demikian di bawah kualifikasi psikis, hubungan antara psikis dan fisik adalah suatu relasi. Namun jika hubungan itu menghubungkan dirinya dengan dirinya sendiri, maka hubungan ini adalah pihak ketiga yang positif, dan ini adalah diri."

Sren Kierkegaard, The Sickness Unto Death: A Christian Psychological Exposition for Upbuilding and Awakening

Sebagai seorang yang menyenangi eksistensialisme, saya menghormati Kierkegaard sebagai seseorang yang berhasil mendorong saya menemukan dan memaknai diri. 

Karya tulisannya berhasil membuat saya masuk lebih dalam untuk menguji dan medekonstruksi diri dalam menimbang ulang berbagai nilai yang menjadi filosofi hidup saya. Dan dari pernyataannya di atas, kuatlah keinginan saya untuk mengaitkan keterikatan diri kita dengan siapa kita dan relasi bersama "yang lain" dan kepemimpinan. 

Bagi saya, pemimpin adalah seseorang yang menemukan urgensi mengenali diri dan mau berproses untuk menunjukkan keaslian dirinya dan membangun terus relasi sehat bersama sekelilingnya. Memimpin adalah memberi pengaruh melalui kedirian.

Definisi ini sebenarnya sangat sederhana. Soal memberi pengaruh. Dan karenanya hidup manusia teramat bernilai. Demikianlah Kejadian 1 dan 2 mengingatkan melalui diksi "segambar dan serupa" dengan Allah, dan "mengusahakan dan memelihara" : keberadaan dan fungsi. Nilai dan tugas. Tidak ada manusia yang tak bernilai karena adanya dia di dunia merupakan karya Allah tak ternilai dan bagi sebuah tujuan. Tujuan kekekalan dan kebaikan.

Kependetaan adalah sebuah jabatan gerejawi di mana seorang anggota sidi jemaat dipersiapkan melalui pendidikan khusus dan pendampingan sebelum akhirnya dia memeroleh tahbisan dalam dukungan Gereja untuk menjadi seorang pelayan Gereja penuh waktu. 

Beginilah GKP memahami kependetaan. Jabatan ini terutama berkaitan dengan panggilan khusus seorang pendeta dalam pelayanan Firman dan Sakramen. Keduanya tak bisa dilakukan oleh pelayan non tahbisan (di GKP hanya pendeta saja). Dalam asumsi bahwa pendeta sudah dipersiapkan untuk melakukan dan mengembangkan kapasitasnya dalam pelayanan sacramentum dan pemberitaan Firman.

Jika kemudian kita melihat pelayanan Firman dan Sakramen hanya soal kotbah maka layang pandang kita sempit sekali. Dua bagian ini saya maknai selama hampir 12 tahun jadi pendeta sangat luas sekali. Tergantung dari bagaimana seorang pendeta paham makna dan tugasnya. 

Untuk bisa melihat makna dan tugas nya yang tersembunyi dalam realitas kemanusiaan dan relasi di gereja dan masyarakat, pendeta perlu spiritualitas dan proses bernalar terus menerus.

GKP, Gereja Kristen Pasundan tak akan pernah bisa menyempitkan makna dan tugas kependetaan hanya soal kotbah di atas mimbar. Mengapa? Karena sejak dari awal, jemaat-jemaat GKP telah hadir dan bertumbuh melalui pelayanan kotbah sosial, yaitu keterlibatan secara aktif anggotanya dalam menyelesaikan persoalan kemasyarakatan dan memberitaan Firman melalui karya Pembangunan jemaat dalam pendidikan, kesehatan, konsultasi hukum, pendampingan korban ketidakadilan, pemberdayaan ekonomi dan sebagainya.

Baiklah, saya menilik panggilan kependetaan yang saya kaitkan dengan jemaat Kampung Sawah, tempat ketiga saya mutasi. Jemaat ini memulai kiprah kekristenannya sejak tahun 1847 dan menumbuhkembangkan dirinya dalam berbagai relasi yang dibangunnya bersama masyarakat. Jemaat ini tak pernah lepas dari dirinya sendiri dan masyarakat. Anggotanya kebanyakan saudara bersaudara secara darah dan melalui perkawinan. 

Kemudian juga menjadi sodara melalui relasi berteman dan membangun RT, RW, Kelurahan, Kecamatan bahkan Kota. Hidup bersama-sama sebagai warga Kampung Sawah dihayati oleh orang Kristen Kampung Sawah dengan hidup yang peduli, rukun, mau saling bantu dan menopang. Apa yang menjadi kesulitan dia maka itu juga menjadi tanggungjawab saya. Demikian pemberitaan Firman dan Sakramen dihidupi oleh jemaat ini.

Maka, pelayanan saya secara organisatoris sebagai Ketua MJ bidang Keesaan dan Kesaksian menjadi sebuah pelayanan strategis yang sangat bermakna bagi saya melihat konsepsi identitas Kampung Sawah. 

Sebagai Gereja milik Allah, Kampung Sawah terus menjadikan dirinya berdaya dan memberi pengaruh. Sebagai sebuah jemaat dalam konsepsi identitasnya, jemaat Kampung Sawah terus memaknai diri dan panggilan sebagai sebuah Persekutuan Kristen tertua di Kampung Sawah yang menjadi panutan dalam semua karya baiknya bagi dunia. Dan apa peran pendeta dalam itu? Apakah dia yang utama? Apakah dia pusat ? Tidak.

Ada banyak pendeta yang sudah melayani Kampung Sawah. Bahkan sebelum kami para pelayan tertahbis ini, ada guru jemaat yang sudah lebih dulu merintis pelayanan gerejawi dipandu dan ditemani oleh banyak anggota jemaat dan masyarakat. 

Semua orang ini memberi kontribusi yang penting sehingga menjelang 150 tahun usianya, Kampung Sawah hadir sebagai adanya dirinya saat ini. Masing-masing dengan peran yang signifikan. Begitu saya menyebutnya. Penting. Gereja telah memberi percayanya pada kami menjadi rekan sekerja bersama jemaat.

Saat ini, jemaat Kampung Sawah hadir dalam periode dunia yang mendigital. Sebuah dunia yang dihidupi oleh manusia yang mencoba menemukan identitas dalam perkembangan teknologi juga dipengaruhi olehnya. 

Dalam diri dan panggilannya, pendeta memiliki tantangan dalam menunaikan tugasnya. Kini dan mungkin nanti, relasi gereja dengan anggotanya, cara para pemimpin gereja berkomunikasi dengan umat dan dunia, sangat dipengaruhi oleh mental manusia yang dipengaruhi digitalisasi.

Digitalisasi membawa kemudahan pada hidup manusia. Namun di dalam soal memaknai kemanusiaan ada yang patut diwaspadai. Ketika berbagai alat manusia ciptakan dan kendalikan, mestilah disadari bahwa manusia bisa saja melakukan kesalahan dan kelalaian. 

Dehumanisasi bisa terjadi. Kecanggihan teknologi dipergunakan untuk memutus relasi dan bukan membangunnya. Teknologi bisa dipergunakan untuk membunuh manusia dan bukan menopang kehidupannya. Teknologi bisa dipergunankan untuk menghancurkan sebuah peradaban, system sosial dan bukan merawat dan membangunnya ke arah kebaikan.

Dalam kapasitasnya sebagai seorang pemimpin yang memberi pengaruh, pendeta perlu terus belajar memaknai ini. Dan jalan pertama yang saya ingin ajukan dalam obrolan saya dengan teman-teman mahasiswa yang saat ini saya tutor bersama Komisi Tutorial Sinode yang adalah calon-calon  pendeta adalah sebuah upaya masif untuk terus menemukan keaslian diri dan mengembangkan nalar.

Otentisitas artinya asli, bisa dipercaya, dan valid. Gen Z atau generasi yang lahir tahun 1990 an sangat serius menggumuli keaslian diri dalam kemanusiaan. Itulah yang mereka coba temukan dalam semua platform media sosial, dan ini menjadi peluang bagi Gereja untuk memperkenalkan Kerajaan Allah. 

Pemberitaan kasih dan kebaikan Allah melalui Firman dan Sakramen menjadi sebuah tantangan baru bagi Gereja dan khususnya para pendeta untuk secara sadar terus berani menjadi diri sendiri, dan tak malu mengajak generasi muda gereja menunjukkan keunikan, menerima diri, berdamai dengan banyak hal di tengah semua persoalan hidup mereka, dan berbuat sesuatu yang baik bagi diri dan lingkungannya.

Digitalisasi juga tak akan lepas dari kolaborasi. Hampir di semua lini hidup bermasyarakat, kolaborasi menjadi opsi dalam bekerja. Bahkan gawai yang kita gunakan menggunakan filosofi kolaborasi yang kuat. Semua aplikasi di gawai kita saling berkolaborasi memainkan peran untuk menolong kita dalam melaksanakan tugas-tugas dalam keseharian. 

Kolaborasi memungkinkan kita memahami bahwa dalam kesadaran kita unik, kita menghormati keunikan orang lain karena kita membutuhkan orang lain untuk menopang. Sudah gak zamannya lagi kita kerja sendirian! Kita berkolaborasi untuk membangun sebuah system yang lebih efektif dan efisien untuk menyelesaikan persoalan.

Prinsip ini mengarahkan fungsi kependetaan yang kedua yaitu menjadi pionir dalam kolaborasi. Tapi, seorang pemimpin yang bisa memandu kolaborasi hanyalah seseorang yang bisa menerima diri sehingga menerima orang lain. Hanya dengan jalan self esteem atau penerimaan diri yang kuat, maka seorang pendeta bisa meretas jalan kolaborasi umat dengan masyarakat dan dunia. 

Pendeta perlu memaknai kolegialitasnya seperti ini: bahwa saya unik, tapi teman saya juga, maka kalau saya menggandengnya maka kerja kami akan cepat selesai dan berhasil. Merasakan bahagia dalam keistimewaan orang lain dan mendukung orang lain sehingga bisa mencapai level terbaik dalam hidupnya. Hanya pemimpin otentik dan kolaboratif yang bisa seperti ini.

Konsep menjadi pusat atau utama bukanlah konsep yang menyenangkan. Karena menjadi pusat hanyalah milik Kristus dalam kependetaan. Pendeta bukanlah sosok yang layak diutamakan karena periodisasi pelayanan mereka yang sebentar di jemaat GKP maka mesti memikirkan bagaimana dalam periode pelayanan, dia bisa menumbuhkembangkan umat melalui otentisitas dan kolaborasi. 

Kependetaan yang menjadi pusat juga tidak spiritual karena pendeta hanyalah anggota Tubuh Kristus di mana Kristus yang seharusnya jadi pusat. Semakin mendalam spiritual seorang pendeta harus memungkinkannya untuk melepas dan menyiapkan kepemimpinan berikutnya.    

Dalam meretas jalan inilah saya mencoba menumbuhkembangkan diri selama tiga tahun ke depan. Semoga dengan pertolongan Allah Tritunggal Maha Kudus yang selalu mengingatkan saya akan gerak perikoresis yang menopang saya, saya mampu terus menggumuli keaslian diri dan bergairah berkolaborasi. Dengan demikian bersama sahabat-sahabat pendeta dan anggota jemaat, saya bisa menikmati pelayanan kependetaan yang tidak mudah namun  bernilai demi kemuliaan Allah. Semata bagi Dia.

Terpujilah Allah dalam jemaatNya!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun