Dalam kapasitasnya sebagai seorang pemimpin yang memberi pengaruh, pendeta perlu terus belajar memaknai ini. Dan jalan pertama yang saya ingin ajukan dalam obrolan saya dengan teman-teman mahasiswa yang saat ini saya tutor bersama Komisi Tutorial Sinode yang adalah calon-calon  pendeta adalah sebuah upaya masif untuk terus menemukan keaslian diri dan mengembangkan nalar.
Otentisitas artinya asli, bisa dipercaya, dan valid. Gen Z atau generasi yang lahir tahun 1990 an sangat serius menggumuli keaslian diri dalam kemanusiaan. Itulah yang mereka coba temukan dalam semua platform media sosial, dan ini menjadi peluang bagi Gereja untuk memperkenalkan Kerajaan Allah.Â
Pemberitaan kasih dan kebaikan Allah melalui Firman dan Sakramen menjadi sebuah tantangan baru bagi Gereja dan khususnya para pendeta untuk secara sadar terus berani menjadi diri sendiri, dan tak malu mengajak generasi muda gereja menunjukkan keunikan, menerima diri, berdamai dengan banyak hal di tengah semua persoalan hidup mereka, dan berbuat sesuatu yang baik bagi diri dan lingkungannya.
Digitalisasi juga tak akan lepas dari kolaborasi. Hampir di semua lini hidup bermasyarakat, kolaborasi menjadi opsi dalam bekerja. Bahkan gawai yang kita gunakan menggunakan filosofi kolaborasi yang kuat. Semua aplikasi di gawai kita saling berkolaborasi memainkan peran untuk menolong kita dalam melaksanakan tugas-tugas dalam keseharian.Â
Kolaborasi memungkinkan kita memahami bahwa dalam kesadaran kita unik, kita menghormati keunikan orang lain karena kita membutuhkan orang lain untuk menopang. Sudah gak zamannya lagi kita kerja sendirian! Kita berkolaborasi untuk membangun sebuah system yang lebih efektif dan efisien untuk menyelesaikan persoalan.
Prinsip ini mengarahkan fungsi kependetaan yang kedua yaitu menjadi pionir dalam kolaborasi. Tapi, seorang pemimpin yang bisa memandu kolaborasi hanyalah seseorang yang bisa menerima diri sehingga menerima orang lain. Hanya dengan jalan self esteem atau penerimaan diri yang kuat, maka seorang pendeta bisa meretas jalan kolaborasi umat dengan masyarakat dan dunia.Â
Pendeta perlu memaknai kolegialitasnya seperti ini: bahwa saya unik, tapi teman saya juga, maka kalau saya menggandengnya maka kerja kami akan cepat selesai dan berhasil. Merasakan bahagia dalam keistimewaan orang lain dan mendukung orang lain sehingga bisa mencapai level terbaik dalam hidupnya. Hanya pemimpin otentik dan kolaboratif yang bisa seperti ini.
Konsep menjadi pusat atau utama bukanlah konsep yang menyenangkan. Karena menjadi pusat hanyalah milik Kristus dalam kependetaan. Pendeta bukanlah sosok yang layak diutamakan karena periodisasi pelayanan mereka yang sebentar di jemaat GKP maka mesti memikirkan bagaimana dalam periode pelayanan, dia bisa menumbuhkembangkan umat melalui otentisitas dan kolaborasi.Â
Kependetaan yang menjadi pusat juga tidak spiritual karena pendeta hanyalah anggota Tubuh Kristus di mana Kristus yang seharusnya jadi pusat. Semakin mendalam spiritual seorang pendeta harus memungkinkannya untuk melepas dan menyiapkan kepemimpinan berikutnya. Â Â
Dalam meretas jalan inilah saya mencoba menumbuhkembangkan diri selama tiga tahun ke depan. Semoga dengan pertolongan Allah Tritunggal Maha Kudus yang selalu mengingatkan saya akan gerak perikoresis yang menopang saya, saya mampu terus menggumuli keaslian diri dan bergairah berkolaborasi. Dengan demikian bersama sahabat-sahabat pendeta dan anggota jemaat, saya bisa menikmati pelayanan kependetaan yang tidak mudah namun  bernilai demi kemuliaan Allah. Semata bagi Dia.
Terpujilah Allah dalam jemaatNya!