Mohon tunggu...
Ester Ela
Ester Ela Mohon Tunggu... Freelancer - Perempuan dan sekelumit pikirannya selalu menarik untuk diapungkan. Aku perempuannyang pikirannya melompat-lompat. Tidak malam. Tidak pagi.

Ibu dua anak. Hobi masak tapi gak doyan makan. Intovert dan suka menyanyi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Harta Warisan

16 Juni 2022   15:34 Diperbarui: 16 Juni 2022   15:38 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tulus yang sejak semula duduk bersila di samping Saina tiba-tiba berdiri. Matanya membelalak. Dalam sekejap langkahnya tertuju ke dapur. Tangannya meraba-raba di sudut lemari tempat Saina biasanya menyimpan peralatan makan dan barang-barang lainnya. Lalu setengah berlari mendapati Roida. Saina terbelalak demi melihat benda pipih lagi berkilau di tangan Tulus. Dia bisa melihat jelas kemana benda di tangan Tulus terarah. Buru-buru Saina menghambur. Satu tubrukan kasar berhasil dia lakukan. Badannya mendekap Roida yang kaget setengah mati. Tubuh keduanya terjerembab kebelakang bersama Tulus yang terhuyung ke sisi kiri. Wajahnya merah lagi rahangnya mengeras sebab benda di tangannya belum mengenai sasaran.

"Hentikan, Bang!" Bentak Saina sambil terus mendekap Roida yang masih terkejut hingga tubuhnya gemetar.

Mendengar teriakan Saina, Tulus rupanya belum berniat berhenti. Sekali lagi dengan langkah terhuyung, diacungkannya tangannya. Sinar temaram lampu memantul membuat silau dari benda pipih di tangan Tulus.

"Seetttttt" tiba-tiba benda itu melesap diantara pinggang dan perut Saina. Saina melenguh lemah, memegangi pinggangnya yang tiba-tiba terasa Ngilu.

Tulus mundur beberapa langkah. Tubuhnya lunglai, sesaat kesadarannya kembali. Sesuatu yang lain seperti baru saja keluar dari dirinya. Tulus terduduk dengan mulut menganga.

Roida, sama terkejutnya dengan Tulus. Tangannya gamang begitu merasakan sesuatu yang hangat dan lengket mengalir dari tubuh Saina. Pun Saina dalam dekapan kakaknya tersenyum penuh arti.

Sudah ribuan kali pertanyaan itu merasuk ke dalam pikir Saina. Ribuan terka dan duga-duga juga sudah ia luluhkan ke dalam pertimbangan pikirannya, tapi tak satupun yang berujung jawaban. Kembali dia mencoba menafsirkan amarah yang berapi-api dimata Tulus, abangnya itu. Juga sumpah serapah dari mulut Roida, kakaknya.

Lalu sekelabat bayangan mendekati Saina, putih dan tersenyum.
"Bapak?" suara Saina samar lalu menghilang bersama lolongan anjing dan malam yang semakin tinggi.

Hamoraon= Kekayaan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun