Sudah ribuan kali pertanyaan itu merasuki pikiran Saina. Ribuan terka dan duga-duga juga sudah ia luluhkan ke dalam pertimbangan pikirannya, tapi tak satu pun yang berujung jawaban.
Semua bermula sejak Bapak gemar bercakap-cakap dengan nya tentang hal yang bagi Sania masih sulit dipahami. Tapi kata Bapak sebagai anak paling kecil, perempuan pula, Sania serupa dengan mendiang Ibunya. Laku nya yang lembut dan perangangai nya yang halus, Sania warisi dari Ibu. Begitu kata Bapak. Entah kenapa pula Bapak selalu mengatakan Sania lah nanti yang bisa jadi pendamai bagi Ito dan Kakaknya jika Bapak telah tiada. Entah lah, Sania gagal memahami semua ucapan Bapak.
Kebigungan nya pula bertambah-tambah sebab belakangan ditengah penyakit Bapak yang semakin parah, tak henti-henti Bapak mengatakan "Hamoraon, Hagabeon, Hasangapon" pada Sania. Kata Bapak siapa saja yang memiliki tiga hal itu, maka sempurna lah hidupnya.
Hamoraon, bapak sudah memilikinya. Setidaknya begitulah menurut Sania. Lahan sawit berbuah pasir seluas 15 hektar juga beberapa rumah peninggalan Bapak di kota Medan.
Aneh memang, ditengah gelimpangan harta dan kemasyuran orang tua Sania _yang sudah barang tentu menjadi impian semua orang_ lain pula dengan Sania. Itu pula yang menghimpun ribuan pertanyaan dalam pikirannya sampai-sampai menghalangi tidurnya.
Hamoraon, yang diharap-harapkan semua orang itu, bagi Sania seolah neraka jahanam. Neraka yang katanya panas apinya tidak terpadamkan. Seperti amarah berapi-api di mata Tulus, abang tertua dan anak lelaki satu-satunya itu. Kesempurnaan yang mengubah Roida, kakaknya, serupa orang lain karena sumpah serapah dan tuturnya yang menyakitkan hati.
Sejak kematian Bapak belum genap sebulan. Percakapan seputar sawit berbuah pasir, beberapa rumah di kota Medan, menjadi pembicaraan yang hangat dipercakapkan, bahkan di hari pertama Bapak dikebumikan.
Padahal tau apa mereka soal sawit berbuah pasir dan rumah di kota Medan itu? Selama ini Tulus dan Roida selalu menghindari perbincangan tentang kedua hal itu. Bahkan ketika Bapak terang-terangkan meminta Bang Tulus membantunya mengurus sawit, tak pernah Bang Tulus hiraukan. Bermacam-macam alasannya. Mulai dari Kak Sofia, istri bang Tulus yang katanya alergi tinggal di kampung.
Bahkan ketika sakit-penyakit mulai merenggut kekuatan dan tawa Bapak, hanya Sainalah yang setia mendampingi. Pun Roida, sekadar untuk bertanya kabar saja sangat jarang. Suaminya yang katanya seorang konglomerat itu, sangat sibuk mengurusi bisnis baru. Keluar masuk luar negeri sehingga membuat Roida sangat kerepotan.
Dan mengapa sekarang mereka perduli? Ahh, berpilin-pilin tanya itu menyeruak di kepala Saina. Perlahan-lahan Saina jatuh pada kesimpulan kematian tentu jauh lebih indah.
"Oidah, Bapak ! Kenapa tak kau bawa saja aku denganmu malam itu. " Kesah Sania bersama mata yg berkaca-kaca perlahan basah.
***
Sampailah pada hari ketujuh kematian Bapak. Malam selepas ketiganya _Tulus, Roida, dan Saina_ makan malam, kembali perbincangan "Harta warisan" digonggongkan. Meskipun Saina tertunduk dalam kepiluan hatinya, amarah berapi-api yang menyulut Tulus begitupun Roida tak lagi terpadamkan.
Â
Tiba-tiba Roida mengutuki. Bermacam sumpah serapah meluncur bebas dari mulutnya. Tangannya menunjuk-nunjuk tepat di wajah Tulus, abangnya itu.