Punggungnya tersadai di tiang bale-bale yang terbuat dari "alpik". Bentuknya yang datar dan lebar membuat punggungnya terasa nyaman bersandar disana. Lagipula lebih leluasa baginya untuk  memandang ke arah jalan. Kalau-kalau anak "siappudannya" tiba-tiba datang, Mak bisa cepat-cepat menyambutnya. Seolah-olah Mak sudah lupa kalau penantiannya belum terjawab selama 10 tahun.  Atau mungkin Mak pura-pura lupa.
Entah itulah yang membuat doa Mak belum terkabul. Doa agar matinya disegerakan. Sebab  kerinduan dibalik hatinya kepada anak "siappudan" yang belum terpenuhi.
"Kala nanti aku mati, jangan kalian kuburkan aku sebelum si Holong pulang." kata Mak tempo hari.
Rosida yang mendengar itu hanya mengangguk, karena memang tidak tahu harus berkata apa pada Mak. Sebab sejak kepergian adik satu-satunya itu merantau ke Malaysia, belum sekalipun dia pulang atau sekadar memberi kabar. Bahkan teman sekampung yang juga merantau di negeri yang sama, tak ada yang pernah tahu keberadaan Holong.
Sore itu, diantara mata Mak yang hampir terlelap, angin bertiup seperti tak biasa. Punggungnya yang biasa bertumpu diantara "alpik", seperti tak kuat lagi menahan beban tubuhnya sampai-sampai Mak terbaring.
Ai damang do sijujung baringin
(Kaulah anak ku yang menjunjung kehormatan)
di au Inongmon
(Bagiku, Ibumu)
Jala hodo silehon dalan
(Kau pula yang menjadi panutan)
di anggi ibotomi
(Untuk saudara-saudaramu)
Lagu itu tiba-tiba terdengar sangat memilukan hati Mak bersama mulutnya yang komat-kamit.
"Holong ! Holong ! Anakku"
Marindal, 21 Januari 2022
Alpik : bekas potongan kayu yang tidak digunakan lagi, biasanya sisa dari pembuatan papan.
Siappudan : anak bungsu