Mohon tunggu...
Ibana S. Ritonga
Ibana S. Ritonga Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Musik, bagus untuk kesehatan....

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Ketika Puteriku Dilantik Menjadi Dokter

7 Februari 2014   10:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:04 1227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_321090" align="aligncenter" width="423" caption="Para Dokter Kebanggaan (dokpri)"][/caption] Ribut-ribut mengenai kualitas pelayanan Rumah Sakit dan rendahnya integritas para dokter membuatku tersikut. Maklum, belum lama berselang puteri tunggalku menjalani wisuda dokter dan kini bertugas sebagai Dokter Puskesmas. Tak lama lagi seorang keponakanku yang lain segera menyusul wisuda. Menelisik ‘keperibadian’ dokter, sebaiknya saya kisahkan serba sedikit sejak pembibitannya. Ketika puteriku masih balita, aku memintanya memetik daun galunggung di belakang rumahku untuk mengobati sakit perutku, menggilingnya dan kuminum air perasannya. Aku beralasan, pengobatan ini kulakukan karena tak ada uang untuk membeli obat dan membayar dokter. Sejak saat itu puteriku terobsesi menjadi dokter. Selama kuliah di Fakultas Kedokteran aku perhatikan benar perjuangan puteriku dan teman-temannya meraih cita-cita. Bukan soal biaya yang kukeluhkan ( menghabiskan sekitar 600 juta rupiah), tetapi menjadi dokter itu memang berat. Tak usahlah bicara pelajaran teori - testnya saja memastikan calon dokter mesti cerdas, tetapi praktek di rumahsakit itu luar biasa beratnya. Membutuhkan keteguhan fisik dan mental, karena yang dihadapi adalah orang sakit dengan beragam penyakit. Tak terbayang bagiku bahwa puteriku mampu menangani pasien sakit parah yang keluarganya sendiri sudah enggan mengurusinya ; membalut lukanya, memandikannya, membersihkan kotorannya, mendengarkan keluhannya…. Semua itu mereka lakukan dengan rela, sebagai suatu kewajiban. Kerap kudengar celoteh antar sesama mereka: “Kalau kita tahu begini beratnya menjadi dokter, mestinya dahulu kita kuliah di fakultas lain saja…”, atau “Orang-orang melihat kita hebat, tetapi kenyataannya beginilah pekerjaan kita sehari-hari..”. Kukatakan kepada mereka bahwa menjadi dokter itu ada campur tangan takdir di dalamnya. Mereka telah ditunjuk olehNya menjadi malaikat-malaikat kecil untuk membantu sesama. Jangan menyesalinya, melainkan jalanilah dengan ikhlas dan professional! Sejak memiliki puteri seorang dokter, saya menjadi orang yang sangat sungkan berurusan dengan dokter. Bukan karena biaya, tetapi karena kemuliaan kharismanya. Mungkin saja ada dokter melakukan kesalahan sebagai manusia biasa, tetapi misi kemanusiaan yang diemban olehnya tak terbantahkan. Itulah mengapa saya sangat prihatin dengan pemberitaan negatif mengenai profesi ini akhir-akhir ini. Yang kuperhatikan adalah, ketidakpuasan masyarakat atas pelayanan kesehatan itu berawal dari kesalahan persepsi mengenai tiga hal pokok yaitu; profesi kedokteran, manajemen rumahsakit dan anggaran kesehatan pemerintah. Dokter, sebagai tenaga inti, hanya menjalankan ilmunya. Ia tidak memproduksi obat-obatan maupun peralatan kesehatan lainnya. Kalau ada pasien membutuhkan obat, maka pasien itu harus membelinya. Tidak tepat jika pasien berharap dokter membelikan obat-obatan untuknya, meskipun pasien itu berasal dari keluarga tidak mampu. Rumahsakit, adalah badan usaha yang memiliki tanggungjawab tersendiri. Manajemen wajib menyediakan fasilitas dan menggaji karyawan, membayar pajak, membayar tagihan listrik dan air, dan lain-lainnya. Tidak bisa rumahsakit itu memberikan pelayanan gratis kepada pasien, siapa pun itu, kecuali jika ada sokongan dana dari pemerintah yang bernama subsidi kesehatan. Sedangkan pemerintah, sesuai keterbatasan anggaran yang dimilikinya, hanya mampu mengalokasikan dana bagi pasien tak mampu. Acapkali kita mendengar rumahsakit menolak pasien tak mampu. Yang menjadi penyebab adalah pihak rumah sakit ‘meragukan’ ketidakmampuan itu. Karena keterbatasan anggaran, sangat selektif memberikan fasilitas pengobatan gratis itu. Bagi pasien yang berasal dari keluarga mampu, diharapkan membayar sebagaimana mestinya, supaya tidak menguras dana subsidi. Hal yang juga jarang diketahui masyarakat adalah, di setiap rumah sakit selalu ada pasien-pasien terlantar atau yang ditinggal begitu saja oleh keluarganya, yang tentunya memerlukan dukungan biaya pula. Yang terbaik adalah, pelihara kesehatan, jangan sakit. Tetapi bagaimana pun menghindarinya, namanya penyakit akan mendatangi siapa pun juga, cepat atau lambat. Karena itu selagi sehat bekerjalah mencari nafkah. Jangan lupa siapkan dana untuk biaya rumahsakit. Agar kita memperoleh pengobatan semestinya! *****

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun