Mohon tunggu...
Esra K. Sembiring
Esra K. Sembiring Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS

"Dalam Dunia Yang Penuh Kekhawatiran, Jadilah Pejuang"

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dinamika Suksesi Nasional

27 November 2018   21:42 Diperbarui: 27 November 2018   21:48 1551
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menyaksikan dan mendengarkan secara langsung respon masyarakat yang antusias dalam menyikapi situasi nasional saat ini serasa ada suasana optimis yang "membanggakan" namun juga sedikit "mengkhawatirkan".
Bagaimana tidak?!

Hampir disetiap tempat yang kebetulan ada kumpulan warga sedang "nongkrong" semuanya "terciduk" pasti sedang antusias membicarakan politik. Mulai dari teori politik "ayam sayur" sampai teori politik "millennial", semuanya dibahas habis sampai tuntas. 

Mulai dari "kulit" nya bahkan hingga ke "akar-akar" nya. Tidak perduli ide asal muasal teori dan argumen-nya nya bagaimana cara mengambil kesimpulannya namun "hebatnya" semuanya yang mendengar seakan "terhipnotis" larut sampai termangut-mangut seolah-olah paham, mungkin begitu lebih baik, daripada di vonis "kuper" oleh sesama-nya. 

Jangan sampai nanti ia ditinggalkan oleh kelompok-nya bila dianggap apatis / tidak mendukung bila tidak kelihatan bahasa tubuhnya, seperti yang "termangut-mangut" tadi.
Benarkah demikian ?

Hanya sekedar ikut-ikutan saja ?, Seolah-olah paham kondisi politik sat ini atau memang perbedaan dalam cara pandangnya saja ?. Jangan sampai masyarakat yang "awam politik" dibiarkan di "politisir" dan terperosok sehingga menyesal kemudian, misalnya terhadap bahaya laten PKI maupun ekstrim radikalisme lainnya yang bertentangan dengan Ideologi Pancasila sebagai Ideologi bangsa.

Semuanya harus diantisipasi !.

Lalu bagaimana caranya ?. Siapa saat ini yang (masih) mau "bersusah-payah" melakukannya ?.

Minimal yang bisa kita lakukan adalah dengan men "dewasa" kan masyarakat-nya secara politik, membagi informasi yang diperlukan tentang proses demokrasi / suksesi itu sendiri dan memberikan pemahaman tentang NKRI secara utuh, serta menjelaskan urgensi menempatkan kepentingan nasional diatas kepentingan kelompok/golongan. 

Tentu dengan bahasa "gampang" yang mudah dimengerti sehingga bisa "nempel" membekas dalam benak pikiran masyarakat secara spontan alami. Pada akhirnya mampu menyadarkan masyarakat terhadap realitas ke-Indonesia-an yang (memang) sudah final. Tidak ada "negosiasi" apapun lagi !.

Memang tidak mudah untuk membagikan semua informasi yang diperlukan apalagi "mengajarkan" politik secara cepat kepada semua masyarakat dari semua latar budaya, agama, sosial bahkan level pendidikan yang beragam. Semua butuh "pendekatan" nya tersendiri. Lalu siapa yang "harus" melakukannya? Kalau bukan kita, siapa lagi bung?

Perkembangan sosial politik bangsa bergerak sangat dinamis. Sebagai contoh bahwa ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya di tahun 1945. Indonesia baru terdiri dari 8 Provinsi dan dua Daerah Istimewa yakni: Sumatera, Kalimantan (Borneo), Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Maluku, Sulawesi, Sunda Kecil (Kepulauan Nusa Tenggara), Daerah Istimewa Surakarta dan Daerah Istimewa Yogyakarta, namun saat ini sudah berkembang menjadi 34 provinsi. 

Sebagai data tambahan bahwa berdasarkan sensus penduduk yang dilaksanakn BPS tahun 2010, jumlah penduduk Indonesia sekitar 238 juta jiwa, Mengakui enam agama resmi di Indonesia yaitu Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu. 

Saat ini ada lebih dari 207 juta orang muslim, sekitar 23 juta orang Kristen serta Katholik, sekitar 4 juta orang Hindu, sekitar 1,7 juta orang Budha dan sekitar 120 ribuan orang Kong Hu Cu yang tinggal di Indonesia. Ada 1.340 suku bangsa menurut sensus BPS tahun 2010. Suku Jawa adalah kelompok suku terbesar di Indonesia dengan jumlah mencapai 41% dari total populasi.

Dan yang tidak kalah penting lainnya adalah jumlah pulau di Indonesia yang menurut data Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia tahun 2004 adalah sebanyak 17.504 buah. 7.870 di antaranya telah mempunyai nama sedangkan 9.634 pulau lainnya masih belum memiliki nama. 

Yang menarik adalah gugusan pulau-pulau kecil yang terletak di Laut Jawa, tepatnya di wilayah Provinsi DKI Jakarta yang terkenal dengan Pulau Seribu ternyata jumlahnya bukan sampai seribu pulau namun 218 pulau. 

Provinsi yang memiliki pulau terbanyak adalah Provinsi Kepulauan Riau yang memiliki 2.408 pulau, disusul Provinsi Papua Barat dengan 1.917 pulau, Maluku Utara dengan 1.525 pulau, Maluku dengan 1.399, disusul Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan 1.192 pulau. Sedangkan Jambi merupakan provinsi yang memiliki pulau paling sedikit, hanya ada 19 pulau, disusul Provinsi DI Yogyakarta dengan 23 pulau, Kalimantan Tengah dengan 32 pulau, Bengkulu dengan 47 pulau, dan Sumatera Selatan dengan 53 pulau.

Selain itu, wilayah negara Indonesia sangat luas yang membentang mulai dari barat, timur, utara dan selatan. Mulai ujung barat yaitu di Sabang hingga ketimur di Merauke dan di ujung utara yaitu Pulau Miangas hingga keselatan yaitu Pulau Rote. Indonesia adalah negara kepulauan yang sebagian besar batas wilayahnya terdiri dari garis pantai yang sangat panjang. 

Letak astronomisnya adalah antara 6 derajat Lintang Utara hingga 11 derajat Lintang Selatan dan 95 derajat Bujur Timur hingga 141 derajat Bujur Timur. Letak geografis nya terletak diantara dua benua dan dua samudra. Yaitu benua Asia dan benua Australia serta samudra Pasifik dan samudra Hindia. Membayangkannya saja sudah sangat susah, sangat "spektakuler", sungguh luar biasa hebatnya Indonesia !.

Dengan fakta strategis geografis dan demografis Indonesia seperti itu, maka wajar bila banyak kepentingan dalam dan luar negeri yang tertarik memperebutkannya. Dan hal ini adalah hal yang wajar dan normal saja, asal tidak berakibat pada perpecahan bangsa. 

Disinilah perlunya data dan fakta kekayaan alam Indonesia ini disampaikan kepada seluruh masyarakat sehingga tidak "apatis" apalagi "pesimis" terhadap potensi dan kemampuan bangsanya dalam mencapai tujuannya masyarakat yang adil dan makmur itu. Tinggal kita mendengar visi, misi dan strategi apa yang disampaikan dalam mengelolanya. Ide yang "Brilian" atau ide yang "biasa-biasa" saja janji politik nya ?, atau malah yang terlalu muluk-muluk, asal bapak senang saja.

Lalu bagaimana cara menyikapi Pemilu 2019 nanti?

Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden 2019 akan digelar serentak pada hari Rabu 17 April 2019. Pelaksanaan pemilu serentak ini adalah pertama kalinya dilakukan di Indonesia dan menjadi sejarah pemilu di Indonesia. 

Terlepas dari strategi Tim Sukses-nya masing-masing yang perlu diingatkan "tegas" dan sesuai dengan peraturan KPU karena sangat berpotensi pada konflik massa di level "akar rumput" adalah peserta tim kampanye pemilu dilarang mempersoalkan dasar negara Pancasila, Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia dan dilarang melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau Peserta Pemilu yang lain. Intinya, dilarang menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat.

Itu peraturannya KPU.

Minimal dengan sedikit pencerahan mulai dari potensi kekayaan dan keberagaman bangsa serta strategisnya Indonesia di percaturan politik dunia serta peraturan dalam kompetisi suksesi nasional ini mampu menjadi "pagar" yang indah, wangi dan sejuk bagi seluruh masyarakat pada segala wacana diskusinya. 

Sehingga demokrasi / suksesi nasional harus dipahami hanyalah sebagai "alat" mencapai tujuan bangsa bukan malah dibiarkan saja diplintir secara liar oleh "avontourir" politik yang radikalis menjadi "alat" perpecahan bangsa. Jangan sampai rakyat "berpolemik" hanya karena terbawa mode yang sedang "trend" saja, hanya sekedar ikut-ikutan saja, padahal bila "kebablasan" bisa dituntut pasal "pidana", minimal pasal pencemaran nama baik. Apakah mereka menyadarinya?

Satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa bukan lahir dengan sendirinya, ikrar "Sumpah Pemuda" lahir nyata dari realitas tuntutan perjuangan dan air mata pendiri bangsa. Jangan dibiarkan menjadi percuma bung!


Esra K. Sembiring, S.IP, M.AP,M.Tr (Han). Alumnus Ilmu Pemerintahan UGM, STIA LAN dan UNHAN

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun