RAB.com (JAKARTA): Sebagian orang, termasuk generasi milenial, sekarang sudah mulai paham akan makanan. Apapun yang akan disantap bahkan ditimbang dan diukur kandungan kalorinya. Tak sedikit yang melakukan diet berpantang misalnya sebisa mungkin membatasi karbohidrat yang masuk ke tubuh.
Sejumlah kasus terdengar. Salah satunya adalah seorang pediet shirataki yang mengganti semua nasi dengan shirataki alias tidak makan nasi sama sekali. Dikisahkan bahwa saat si pediet tadi positif covid, kejadian yang biasa saja menjadi luar biasa. "Dia nggak sembuh-sembuh, masuk ICU, bahkan sampai mau lewat. Itu gara-gara tidak terkontrol metabolismenya karena dia mengkonsumsi shirataki," komentar kalangan dekatnya.
Menanggapi kejadian itu, pakar nutrisi Saptawati Bardosono mengatakan bahwa saat berdiet sebaiknya setiap orang harus hati-hati. Menurut Guru Besar Departemen Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang akrab disapa Prof Tati ini, soal makan ini sudah ditegaskan oleh Hipokrates Bapak Kedokteran Dunia: makanan sebagai obat, obat sebagai makanan. "Berarti makanan itu juga ada dosisnya, ada porsinya."
Prof Tati menuturkan makan shirataki itu kemungkinan hanya salah satu penyebab kegawatan saat terkena covid-19. "Jadi kadang kita itu kalau sudah tahu satu jenis makanan itu bagus, ya itu saja yang dimakan. Kita nggak bisa begitu karena justru kalau terlalu banyak itu akan memberikan efek yang negatif. Jadi memang betul harus semuanya harus bervariasi kita sudah diajarkan dari nenek moyang kita makan kita itu selalu bervariasi."
Kisah perlunya berhati-hati saat berdiet ini mengemuka dalam diskusi terbatas yang dilakukan Dewan Pakar Indonesian Gastronomy Community (IGC) 24 April lalu. Pada diskusi yang membahas alur cerita yang akan ditampilkan dalam Museum Gastronomi Indonesia (MGI) tersebut dipaparkan betapa kebutuhan makanan dunia akan melonjak seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk di dunia.
Pada 2050 diperkirakan produksi pangan tak akan lagi bisa memenuhi kebutuhan sekitar 9 miliar penduduk dunia. Para peneliti sudah mencari berbagai sumber makanan baru untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Dari pemanfatan jamur, ganggang, bagian akar sayuran, bagian lain tanaman buah, kaktus, serangga, hingga menumbuhkan daging di laboratorium yang kemungkinan bisa dikonsumsi sebagai pangan di masa depan.
Malnutrisi dan kearifan lokal
Prof Tati menambahkan dari semboyan 4 sehat 5 sempurna zaman dulu, sekarang di zaman modern kita sudah punya piramida makanan untuk jenis makanan dan juga untuk takarannya. Kenapa dibikin piramida, lanjut dia, karena porsi-porsinya ada. "Nggak bisa hanya makan satu-satunya dan itu dikonsumsi dalam jumlah banyak. Bila itu dilakukan pasti akan menjadi masalah," tandasnya.
Dia menambahkan tidak tepat kalau kita menyalahkan shirataki yang membuat covid-nya jadi berat. Menurutnya kita juga mesti melihat kondisi orang itu bagaimana sebetulnya, tapi ditambah dengan dia dietnya juga nggak bagus sehingga akan memperberat saat sakit. Sering apa yang menjadi tren di masyarakat, kata dia, hanya dilakukan tanpa dilandasi pengetahuan yang memadai maupun konsultasi dengan para ahli nutrisi.
"Khususnya kalangan milenial sepengamatan saya juga tidak lepas dari tren ini sehingga ada yang berakibat fatal." Menurutnya kondisi fisiologis setiap orang berbeda dan tidak bisa digeneralisir. "Setiap orang mempunyai kebutuhan asupan nutrisinya agar tidak mengalami malnutrisi," tandas anggota dewan pakar IGC. Dia menambahkan bahwa pedoman umum untuk memenuhi kebutuhan nutrisi adalah bahwa asupan makanan setiap hari sebaiknya beragam.
Hal ini, kata dia, mengingat beragam nutrisi tidak bisa dipenuhi dari sekelompok jenis makanan saja sehingga diet seperti berpantang total zat karbohidrat tentu tidak disarankan. Begitu pula dengan asupan zat nutrisi yang lain. "Semua diet yang dilakukan sebaiknya didahului dengan general check up dan atas sepengawasan dokter yang kompeten di bidang nutrisi."